POLEMIK POLIGAMI DAN KAWIN SIRI
Oleh: Andi Sunarto Ns
Narto's Note - Hakikat dari suatu perbuatan adalah
tindak pidana ataupun bukan terletak pada ada atau tidaknya sanksi pidana atas
pelanggaran suatu kaedah hukum berupa perintah (gebod), larangan (verbod) dan
kebolehan (mogen). Bisa saja satu kaedah hukum juga berisikan perintah,
larangan dan kebolehan, tetapi jika ia tidak mengandung sanksi berupa pidana
maka mungkin itu adalah kaedah hukum lain di luar hukum pidana (hukum perdata
atau hukum tata negara).
Namun dalam praktik penggunaan
bahasa hukum, istilah kriminalisasi telah dipergunakan secara lebih luas. kriminalisasi
sering diartikan sebagai usaha memasukkan atau penggiringan aspek pidana dalam
satu kasus yang mungkin sebenarnya belum tentu peristiwa pidana. Hal tersebut
menujuk pada pengertian Kriminalisasi berdasarkan KBBI. Dalam KBBI
Kriminalisasi adalah proses yg memperlihatkan perilaku yg semula tidak dianggap
sbg peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sbg peristiwa pidana oleh
masyarakat
Istilah Kriminalisasi (Bahasa
Hukum), Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa kriminalisasi adalah suatu
pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana yang
merupakan hasil dari suatu penimbanganpenimbangan normatif (judgments) yang
wujud akhirnya adalah suatu keputusan (decisions). Kriminalisasi dapat pula
diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan
yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang
dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.
Perkawinan
menurut UU No 1 Tahun 1974
Berdasarkan UU No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, telah jelas bahwa dalam UU tersebut ada perintah, larangan
dan kebolehan tentang bagaimana perkawinan dapat diselenggarakan. Salah satu
hal yang sebenarnya dilarang adalah beristri lebih dari satu, tetapi dengan
pengecualian. Dimana undang-undang menyatakan seorang pria dengan seorang
wanita. Ini tafsiran terhadap Pengertian
Perkawinan menurut Pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya,
Pasal 3 UU No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Ini mengindikasikan bahwa
ketentuan tersebut menganut asas monogami.
Selanjutnya, suatu perkawinan
dikatakan sah adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 yang berbunnyi: “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Jadi berdasarkan ketentuan yang
diuraikan di atas jelas sekali apa yang dimaksud dengan perkawinan dan sah atau
tidaknya suatu perkawinan yang dilakukan secara agama masing-masing dan
dicatat.
Kemudian ketentuan ini dilanjutkan
pada pasal 4 bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan
hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila: Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, Isteri
mendapat cacad badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan Isteri
tidak dapat melahitkan keturunan.
Masalahnya kemudian adalah bahwa
ternyata pelanggaran atas ketentuan undang-undang ini tidak diberikan sanksi
berupa pidana. Karena itulah, perbuatan mengawini lebih dari seorang wanita
bukanlah merupakan tindak pidana. Namun, di dalam Hukum Administrasi Negara,
perkawinan seorang pria Pegawai Negeri Sipil dengan lebih dari seorang wanita
akan mendapatkan sanksi yaitu maksimal pemberhentian sebagai Pegawai Negeri.
Kawin Siri
Namun akhir-akhir ini banyak pula
beberapa kalangan pelaku poligami mencari jalan lain untuk berpoligami. Adapun jalan
yang mereka tempuh adalah dengan
melakukan kawin siri. Jika ditinjau dari segi hukum positif timbul pertanyaan
apakah kawin siri tersebut dapat diakui sebagai perkawinan yang sah menurut
hukum yang berlaku di Indonesia?
Jawaban dari pertanya tersebut di
atas adalah tidak sah. Merujuk kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 yang telah diuraikan di atas bahwa syarat sahnya suatu perkawinan adalah
dilakukan secara agama masing-masing dan dicatat. Hal tersebut menjadi hal yang
mutlak dilaksanakan untuk membuktikan bahwa perkawinan tersebut sah atau tidak.
Apabila hal tersebut dilakukan secara siri artinya perkawinan tersebut adalah
sembunyi-sembunyi. Maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah.
Ancaman Pidana
Sesuai dengan kketentuan hukum yang
berlaku jelas sekali Kawin Siri menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
juncto Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jelas sekali Kawin Siri adalah
tidak sah secara hukum, sedangkan bagi Pejabat yang mekawinkan pasangan
poligami tersebut secara siri diancam dengan sanksi pidana sebagai dimaksud
dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 436 yang berbunyi :
“Barang siapa berhak mengawinkan orang menurut hukum
yang berlaku bagi kedua belah pihak, mengawinkan orang, sedang diketahuinya,
bahwa nikahnya yang sudah ada pada waktu itu menjadi halangan yang sah bagi ia
akan kawin lagi, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.”
“Barang siapa berhak
mengawinkan orang menurut hukum yang berlaku bagi kedua belah pihak,
mengawinkan orang, sedang diketahuinya, bahwa untuk itu ada suatu halangan sah
yang lain dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“
Ketentuan lain dalam pasal 279 KUHP dikatakan bahwa
(1) Diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun :
1. barang
siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan
– perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2. barang
siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika
yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak
lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Meskipun Perkawinan siri dan Poligami
telah di atur dalam ketentuan undang-undang akan tetapi hal tersebut sangat
sulit untuk diterapkan dikarenakan terkendala dalam hal pembuktian. Perkawinan
kedua yang lazim disebut dengan kawin siri tidak dapat dibuktikan karena proses
akad nikah yang tidak resmi ini tidak diresmikan melalui lembaga yang berwenang
dalam hal ini KUA untuk penduduk beragama Islam melainkan melalui sarana nikah
secara agama saja, sah secara agama tetapi tidak sah berdasar hukum Negara
Walaupun ia sah secara agama,
tetapi jika dalam konteks hukum negara ia menimbulkan ketidakteraturan,
ketidakadilan, ketidakpastian, dan ketidakmanfaatan. Jika tidak segera mendapatkan penyelesaian maka tidak
ada alasan untuk menolak kriminalisasi Poligami dan Kawin Siri.
DEMIKIAN. MOHON KRITIKANNYA!!!
Comments