EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA
(Berdasarkan
Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021)
Narto's Note - Fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan sebuah benda (Benda Bergerak dan Benda Tidak bergerak), di mana registrasi hak kepemilikannya masih dalam kekuasaan pemilik benda tersebut. Sedangkan Jaminan Fidusia adalah Jaminan kebendaan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud sehubungan dengan hutang-piutang antara debitur dan kreditur. Jaminan fidusia diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk menjamin pelunasan hutangnya.
Pengaturan tentang Fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tantang Jaminan Fidusia (UU 42/1999) dimana sebelum berlakunya UU
42/1999 fidusia juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun telah memberikan kedudukan fidusia sebagai lembaga jaminan yang
diakui undang-undang. Pada Pasal 12 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa,
1. Rumah
susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan utang
dengan:
a. dibebani hipotik, jika tanahnya hak
milik atau HGB
b. dibebani fidusia, jika tanahnya hak
pakai atas tanah negara.
2. Hipotik
atau fidusia dapat juga dibebankan atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) beserta rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit
yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah susun yang
direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya
dilakukan secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun
tersebut.
Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021
Permohonan Uji Materi Pasal 15 UU 42/1999 oleh Joshua Michael
Jhami, telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tertuang
dalam Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021. Dalam
putusan tersebut diatur tentang Mekanisme Eksekusi Jaminan Fidusia. Dalam putusan
tersebut juga mengatur makanisme penagihan kredit macet oleh Debt Collector.
Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021, Halaman 82, Paragraf 3.14.3,
berbunyi sebagai berikut:
“[3.14.3] Bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami secara utuh
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam kaitannya dengan
kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Adanya ketentuan tidak
bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan sendiri melainkan harus mengajukan
permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri pada dasarnya telah
memberikan keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta
menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Adapun
pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri
sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal
tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan dengan
wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada
kreditur. Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan
secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan
fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri;
Dalam Putusan tersebut di atas tidak berbeda jauh dengan Putusan
MK sebelumnya (Putusan MK Nomor 18/XIX-PUU/2019),
dan sifatnya hanya menegaskan putusan sebelumnya. Keputusan tersebut
memungkinkan adanya alternatif yang bisa dilakukan oleh kreditur dan debitur
apabila penyerahan jaminan fidusia tidak menemui kesepakatan.
Alternatifnya adalah harus melalui proses di pengadilan.
Putusan ini menegaskan bahwa pihak Debt Collector tidak bisa melakukan
perampasan (pengambilan) jaminan secara paksa. Dalam putusan tersebut juga berlaku
untuk semua Objek Jaminan Fidusia, termasuk objek fidusia terhadap benda tetap
(tidak bergerak).
MEKANISME
EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA
(Berdasarkan
Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021)
WARKOP
BG, KEPULAUAN SELAYAR
30
SEPTEMBER 2021
ANDI
SUNARTO, S.H.
Comments