TEORI OTONOMI DAERAH
Oleh Andi Sunarto Ns
Narto's Note - Jika ditinjau dari segi ketatanegaraan
maka masalah pemerintahan daerah, merupakan masalah struktural dari suatu
negara, sebagai suatu organisasi kekuasaan. Sebagai organisasi kekuasaan, maka
dapat terjadi beberapa kemungkinan terhadap kedudukan kekuasaan tersebut yaitu,
pertama, kekuasaan itu terhimpun (gethered) dan tidak dapat dibagi-bagikan
dan kedua, kekuasaan tersebut
tersebar (despresed) dalam arti
dibagi-bagikan pada kelompok-kelompok lainnya.[1]
Terkait hal pembagian kekuasaan, maka
terdapat dua macam pembagian kekuasaan secara vertikal dan horizontal.
Dimana yang dimaksud dengan pembagian secara horizontal adalah pembagian
dengan didasarkan atas sifat tugas yang berbeda jenisnya, sehingga menimbulkan
lembaga-lembaga negara, sedangkan pembagian secara vertikal adalah pembagian
kekuasaan yang melahirkan garis hubungan antara pusat dan
cabang-cabangnya. Adapun bentuknya yaitu, pertama,
pelimpahan sebagai kekuasaan kepada orang-orang dari pusat kekuasaan yang
berada pada cabang-cabangnya, untuk menyelenggarakan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pusat kekuasaan. Kedua, pelimpahan sebagian kekuasaan kepada
orang-orang dari cabang-cabangnya.[2]
Negara Republik Indonesia adalah negara
kesatuan dengan sistem desentralisasi. Sehubungan
dengan itu penyelenggaraan pemerintah di daerah dilaksanakan melalui tiga asas
yaitu, asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan.
Berikut ini akan dijelaskan terkait dengan ketiga asas tersebut.
a. Asas Desentralisasi
Berdasarkan ketentuan umum dalam UU
No.32 Tahun 2004, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Desentralisasi adalah
penyerahan Wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan Republik indonesia.
Dari penjelasan tersebut kemudian
dikembangkan bahwa Desentralisasi pada dasarnya adalah pelimpahan atau penyerahan
kekuasaan dibidang tertentu secare vertikal institusi/lembaga/pejabat yang
lebih tinggi kepada institusi/lembaga/pejabat bawahannya sehingga yang
diserahi/dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama
sendiri dalam urusan tertentu tersebut.[3]
Asas desentralisasi ini kemudian
ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan, yakni penyerahan sebagian hak
dari pemilik hak kepada penerima sebagian hak, dengan objek hak tertentu.
Pemilik hak pemerintah adalah di tangan penerima, dan hak pemerintah tersebut
diberikan kepada pemerintah daerah dengan objek hak berupa kewenangan
pemerintah dalam bentuk untuk mengatur urusan pemerintahan, namun masih tetap
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.[4]
Dari beberapa pendapat tentang asas
desentralisasi maka dapat dikatakan bahwa asas desentralisasi memiliki beberapa
keuntungan, seperti pemusatan dan penumpukan kekuasaan dapat dihindari.
Disamping itu desentralisasi juga merupakan perwujudan demokrasi, kerena
mengikutsertakan rakyat dalam pemilihan. Selanjutnya desentralisasi juga dapat
meningkatkan efisiensi pemerintahan karena hal-hal yang dianggap lebih penting
diurus pemerintah diserahkan kepengurusannya kepada pemerintah daerah setempat.
Sedangkan hal-hal yang perlu diurus dan lebih tepat diurus pemerintahan pusat,
tetap ditangan pemerintahan pusat.[5]
b. Asas Dekonsentrasi
Dekonsentrasi merupakan prinsip sistem
pemerintahan, dimana terjadi pelimpahan sebagian dari kewenangan pemerintah
pusat kepada alat-alat pemerintah pusat yang ada disuatu wilayah dalam hubungan
hirarkis antara atasan dan bawahan, untuk secara bertingkat meyelenggarakan
urusan pemerintahan pusat di wilayah itu, menurut kebijakan yang telah
ditetapkan serta beban biaya dari pemerintah pusat. Alat pemerintah pusat yang
ada diwilayah tersebut hanya sebagai penyelenggaraan administratif. Dengan
demikian asas dekonsentrasi merupakan manifestasi dari penyelenggara pemerintah
negara, yang menggunakan asas desentralisasi secara secara halus dan
dipersempit. [6]
Senada dengan apa yang dijelaskan diatas
menurut (Andi Mustari Pide) Pengertian dokensentasi merupakan pengembangan atau
perbaikan dari sentralisasi dalam pemerintahan, tetapi penyelenggaraannya masih
tetap dalam rangka sentralisasi. Disebutkan demikian karena dekonsentrasi itu
merupakan penyerahan wewenang dari pusat kepejabat-pejabat di daerah untuk
melaksanakan kewenagan tertentu dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan
pusat di daerah.[7]
Sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2004
disebutkan bahwa, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu.
Dari penjelasan tersebut maka dapat
dikatakan bahwa asas dekonsentrasi sangat erat kaitannya dengan penetapan
strategi kebijakan dan pecapaian program kegiatannya, diberikan kepada gubernur
atau instansi vertikal di daerah sesuai arahan kebijaksanaan umum dari
pemerintah pusat, sedangkan sektor pembiayaannya tetap berada pada pemerintah
pusat.[8]
c. Asas Tugas Pembantuan
Asas tugas pembantuan pada dasarnya,
merupakan keikutsertaan daerah atau desa, termasuk masyarakat atas penugasan
atau kuasa dari pemerintah pusat, atau pemerintahan daerah untuk melaksanakan
urusan pemerintahan tertentu.
Tugas pembantuan adalah tugas pemerintah
daerah, untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemrintahan, yang ditugaskan
pemerintah pusat atau pemerintah tingkat atasnya, dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan tugas itu kepada yang
menugaskannnya. Dapat diartikan pula bahwa tugas pembantuan merupakan
pelimpahan wewenang perundang-undangan, untuk membuat peraturan darerah,
menurut garis kebijaksanaan dari pemerintah pusat.[9]
UU No.32 Tahun 2004 mendefenisikan tugas
pembantuan adalah “penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Dalam asas tugas pembantuan ini, telah
tersirat dan tersurat bahwa tugas pembantuan kepada pemerintah desa merupakan
tangggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintahan
kabupaten/kota. Selanjutnya bahwa pemerintah desa diberikan wewenang untuk
menggali potensi yang ada didaerahnya sendiri bersama Badan Pemusyawaratan Desa
(BPD). [10]
[1]Jimly Asshiddiqie, http://www.theceli.com. Dalam buku, Abdul Aziz Hakim, Distorsi Sistem Pemberhentian (Impeachment)
Kepala Daerah, (Yogyakarta: Toga Press, 2006), hlm. 64
[2]Ibid, hlm. 64-65.
[3]Andi Mustari pide, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, (Jakarta: Gaya
Media, 1999), Hlm.33-34.
[4]Siswanto Sunarno, Op. Cit. Hlm. 7.
[5]Abdul Aziz Hakim, Op. Cit. Hlm. 65.
[6]Ibid., hlm. 67-68.
[7]Andi Mustari pide, Op. Cit., hlm. 30.
[8]Siswanto Sunarno, Op. Cit. Hlm. 7-8.
[9]Abdul Aziz Hakim, Op. Cit. Hlm. 68-69.
[10]Siswanto Sunarno, Op.Cit. Hlm. 8.
Comments