BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
merupakan dua badan yang serupa tapi tak sama. Maksudnya, dua lembaga negara
ini sama-sama mempunyai fungsi pengawasan, tetapi BPK melakukan pengawasan
Ekstern sedangkan BPKP melakukan pengawasan Intern.
Jika secara
semantik sudah jelas tampak perbedaan antara ‘pemeriksaan’ dan ‘pengawasan’,
tidak demikian halnya dalam praktik. Meski dalam UU hanya ada satu badan yang
diberi wewenang melaksanakan ‘pemeriksaan’ pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, pada kenyataannya ada lagi beberapa badan lain yang
melaksanakan ‘pemeriksaan’ meski wewenangnya adalah ‘pengawasan’. BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan), sesuai dengan namanya, adalah satu-satunya badan yang
diberi wewenang melaksanakan ‘pemeriksaan’ . Namun demikian, BPKP (Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), misalnya, meski sesuai namanya
wewenangnya jelas ‘pengawasan’, sepak-terjangnya nyaris sama dengan BPK.
Untuk itu,
kami akan menelaah lebih lanjut perbedaan-perbedaan BPK dan BPKP. Hal ini
dianggap perlu karena BPK dan BPKP mempunyai tugas pokok dan fungsi serta kewenangan
yang hampir sama tetapi beda dari segi pengawasan. Sehingga kedua lembaga
tersebut harus dibedakan agar BPK dan BPKP dapat berjalan dengan benar dan
sesuai dengan yang diharapkan.
B. Rumusan
Masalah
Materi
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah PERBEDAAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
(BPK) DAN BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP). Untuk memberikan
kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka masalah yang akan
dibahas kami batasi pada :
1. Dasar Hukum serta Tugas Pokok dan Fungsi BPK dan BPKP;
C. Tujuan
penulisan
Penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai
berikut :
1. Untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Keuangan Negara, yaitu : Membuat
Makalah Perbedaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan;
2. Untuk
mengetahui perbedaan-perbedaan yang signifikan antara Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
D. Metode
Penulisan
Dalam proses
penyusunannya makalah ini menggunakan metode study literature. Yaitu
dengan melakukan proses pencarian daftar bacaan dan pengumpulan
dokumen, dengan menggunakan media baca sebagai sumber data dan informasi. Metode
ini dipilih karena pada hakikatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan
penulisan yang hendak dilakukan.
E. Sistematika Penulisan
Bab I
Pendahuluan. Dalam bagian ini kami memaparkan beberapa pokok permasalahan awal
yang berhubungan erat dengan masalah utama. Pada bagian pendahuluan ini
dipaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan
makalah, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah.
Bab II
Pembahasan. Perbedaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pada bagian ini merupakan bagian yang hendak
dikaji dalam proses penyusunan makalah ini. Kami berusaha untuk
mendeskripsikan berbagai temuan yang berhasil ditemukan dari hasil pencarian
sumber atau bahan.
Bab III
Kesimpulan. Pada bagian ini kami berusaha untuk menyimpulkan pembahasan yang
telah dikemukakan dalam perumusan masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
PERBEDAAN
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DAN
BADAN
PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP)
A. Dasar Hukum serta Tugas Pokok dan Fungsi BPK dan BPKP
BPKP (BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN)
Banyaknya
lembaga negara yang didirikan tanpa memandang efektifitas dan efisiensi,
menjadikan beberapa lembaga negara mempunyai wewenang yang hampir sama bahkan
sama sekali tidak ada perbedaan. Kesimpangsiuran wewenang tersebut saat ini
terjadi pada dua lembaga Pemeriksaan. Lembaga pertama adalah BPK yang dibentuk
berdasarkan UU no 15 tahun 2006, dan selanjutnya BPKP yang dibentuk berdasarkan
Keppres no 103 tahun 2001 mengenai Lembaga Negara Non Departemen.
Berdasarkan
Keputusan Presiden No 103 tahun 2001, menjelaskan mengenai pembentukan Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang didalamnya diuraikan hal-hal yang menjadi
fungsi, tugas, wewenang dan pertanggungjawaban lembaga tersebut.
Dalam
Keppres No. 103 tahun 2001pasal 1, menjelaskan bahwa Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang selanjutnya disebut LPND adalah lembaga pemerintah pusat yang
dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden. LPND
merupakan lembaga yang bekerja berdasarkan permintaan dari presiden dan wajib
melaporkan hasil kerjanya kepada presiden berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-udangan yang berlaku. Kemudian dalam pasal 3 Perpres No. 11 Tahun
2005, yang termasuk LPND diantaranya adalah Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) yang juga disandingkan dengan BAPPENAS, BPS, BIN dsb.
Berdasarkan
pasal tersebut, jelas bahwa posisi BPKP merupakan LPND yang bertugas atas
permintaan Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. Namun yang menjadi
catatan disini adalah tugas yang diusulkan oleh pihak BPKP atau yang diminta oleh
Presiden harus sesuai dengan aturan yang mendasarinya. Jelas bahwa yang
dititikberatkan sebagai tugas BPKP adalah mencakup pengawasan baik pengawasan
keuangan pelaksanaan pemerintahan dan pengawasan kinerja pelaksanaan
pemerintahan atau disebut pengawasan intern.
Berdasarkan
PP No. 60 Tahun 2008, BPKP merupakan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan berwenang melakukan
pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu
yang meliputi: kegiatan yang bersifat lintas sektoral; kegiatan kebendaharaan
umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara; dan kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
Kemudian
Fungsi pemeriksaan, sesuai dengan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)
Dalam
Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 pasal 1, yang dimaksud dengan Badan Pemeriksa
Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas
untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan pasal 6, BPK memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara. Kemudian, berdasarkan Pasal 7 UU No. 15 Tahun 2006 tersebut
dan Pasal 23E Ayat 2 BAB VIIIA UUD 1945, BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai
dengan kewenangannya.
Dengan
demikian, jelas bahwa fungsi pemeriksaan terhadap entitas/lembaga-lembaga
Negara ada pada tugas dan kewenangan BPK. Salah satunya adalah fungsi
pemeriksaan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dasar Hukum
terhadap BPK pun tertulis dalam UUD 1945 Bab VIII A Pasal 23 E, F, dan G. Serta
UU RI No. 15 Tahun 2006 Ttg Badan Pemeriksa Keuangan sebagai pengganti UU RI No.
5 Tahun 1973 Ttg Badan Pemeriksa Keuangan. UU RI No. 15 Tahun 2004 Ttg
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. UU RI No. 1 Tahun
2004 Ttg Perbendaharaan Negara. Dan UU RI No. 17 Tahun 2003 Ttg Keuangan
Negara.
B. Perbedaan mendasar antara BPK dan BPKP
Bukan
rahasia lagi bahwa meskipun menurut ketentuan UUD 45, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) merupakan satu-satunya badan pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, masih terdapat beberapa badan lain yang melaksanakan pekerjaan
yang sama dengan BPK biarpun mereka seharusnya melakukan tugas-tugas
pengawasan, seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sepintas
lalu kerancuan antara tugas ‘pemeriksaan’ dan ‘pengawasan’ tampak sekadar
kerancuan istilah, tapi sesungguhnya sifatnya jauh lebih mendasar, seperti
kerancuan manajerial, bahkan kerancuan hukum.
Jangankan
ketentuan UUD 1945, kamus pun sebenarnya cukup tegas membedakan ‘pemeriksaan’
dengan ‘pengawasan’. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) terbitan 2005,
misalnya, terdapat dua pengertian dalam istilah ‘pengawasan’. Pertama,
pengertian ‘penilikan dan penjagaan’ atas suatu kegiatan. Kedua, pengertian
‘penilikan dan pengarahan kebijakan’ suatu badan. Dua pengertian itu tampak
jelas sama-sama menyangkut tujuan meningkatkan mutu manajerial organisasi; yang
pertama member penekanan pada kegiatan sehari-hari suatu badan; yang kedua pada
keputusan-keputusan suatu badan.
Istilah
pemeriksaan dalam kamus tersebut mengandung tiga pengertian. Pertama “proses,
cara, perbuatan memeriksa”. Kedua, “hasil (pendapatan) memeriksa; periksaan”.
Ketiga, “penyelidikan; pengusutan (perkara dsb.)”. tiga pengertian ini jelas
tampak bebas dari tujuan mencapai mutu manajerial suatu organisasi, walaupun
dampaknya bisa sampai disana. Dirumuskan lain, ‘pengawasan’ bersifat internal,
jadi terbatas dalam suatu badan atau organisasi, sedang ‘pemeriksaan’ bersifat
eksternal, Jadi ditujukan kepada badan atau organisasi di luarnya.
Jika secara
semantik sudah jelas tampak perbedaan antara ‘pemeriksaan’ dan ‘pengawasan’,
tidak demikian halnya dalam praktik. Meski dalam UU hanya ada satu badan yang
diberi wewenang melaksanakan ‘pemeriksaan’ pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara, pada kenyataannya ada lagi beberapa badan lain yang melaksanakan
‘pemeriksaan’ meski wewenangnya adalah ‘pengawasan’. BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan), sesuai dengan namanya, adalah satu-satunya badan yang diberi
wewenang melaksanakan ‘pemeriksaan’ . Namun demikian, BPKP (Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan), misalnya, meski sesuai namanya wewenangnya jelas
‘pengawasan’, sepak-terjangnya nyaris sama dengan BPK.
Jika BPK
adalah amanat UUD, maka BPKP boleh disebut merupakan insiden pemerintahan,
dalam hal ini di samping beberapa kelemahan yang dihadapi di bidang pengauditan
pembelanjaan publik, terdapat sebagian duplikasi fungsi antara BPK dan BPKP
serta antara BPKP dan Inspektorat Jenderal. Buku putih Departemen Keuangan
(2002) menyiratkan bahwa BPK dengan bergulirnya waktu harus menjadi
satu-satunya badan audit eksternal, yang menyerap BPKP, walaupun pemerintah
bisa mempertahankan satu unit pemeriksaan kecil. Personalia BPKP juga dapat
digunakan untuk memperkuat manajemen keuangan pada departemen-departemen
teknis.
Kehadiran
BPKP malah semakin dikukuhkan dengan lahirnya No. 60 Tahun 2009 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah, berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Kehadiran Peraturan Pemerintah ini semestinya memerlukan
pertimbangan BPK, tapi dalam kenyataannnya pertimbangan itu tidak pernah ada,
dan Peraturan Pemerintah tersebut tetap saja ditandatangani oleh Presiden.
Karena itu, tumpang tindih masih tetap berlangsung. Tidak heran bahwa reaksi
penolakan dari KPK muncul tatkala BPKP ingin mengaudit laporan keuangan KPK.
Maklumlah, laporan keuangan KPK memang sudah diaudit oleh BPK.
Sehubungan
dengan kedudukan dan fungsi BPK, dikatakan oleh Pakar Hukum Asshiddiqie, bahwa
dalam UUD 1945 yang asli, kedudukan BPK dirumuskan secara sangat sumir dalam
Pasal 23, Ayat (5). Oleh karena itu, bersamaan dengan penghapusan lembaga DPA
dari ketentuan UUD 1945, ketentuan baru mengenai BPK ini ditempatkan
dalam Bab tersendiri, yaitu Bab VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Isinya
juga dilengkapi sehingga menjadi tiga pasal dan tujuh ayat,. Disamping itu,
mitra kerja BPK yang semula hanya DPR di tingkat pusat dikembangkan juga ke
daerah-daerah sehinga laporan hasil pemeriksaan BPK itu tidak saja harus
disampaikan kepada DPR. Tetapi juga kepada DPRD, baik di tingkat provinsi,
maupun tingkat kabupaten/kota. Mengapa demikian? Karena objek pemeriksaan BPK
itu tidak hanya terbatas pada pelaksanaan atau realisasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) tetapi juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Selain itu,
juga terdapat perkembangan baru yang menyangkut kedudukan dan fungsi BPK.
Sebelumnya, organisasi BPK hanya memiliki kantor perwakilan di beberapa
provinsi saja karena kedudukan kelembagaannya memang hanya terkait dengan
fungsi pengawasan oleh DPR RI terhadap kinerja pemerintahan di tingkat pusat
saja. BPK tidak mempunyai hubungan dengan DPRD, dan pengertian keuangan negara
yang Baharuddin Aritonang, Orang Batak Memandang BPK, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm. 105-111 menjadi objek pemeriksaan
hanya terbatas pada pengertian APBN saja. Karena pelaksanaan APBN itu terdapat
juga di daerah-daerah maka diperlukan ada kantor perwakilan BPK di
daerah-daerah tertentu. Oleh karena itu, dibandingkan dengan Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibentuk pemerintah orde baru, struktur
organisasi BPK jauh lebih kecil.
BPKP
mempunyai struktur organisasi yang menjangkau ke seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota
di seluruh Indonesia. BPKP itu disatu segi merupakan lembaga internal auditor
atas kegiatan pemerintahan dan pembangunan, tetapi terhadap instansi
pemerintahan yang diperiksa, sekaligus merupakan lembaga eksternal auditor.
Untuk menghadapi dualisme pemeriksaan oleh BPK dan BPKP itulah maka Pasal 23E,
Ayat (1) menegaskan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri.
Di sini tegas dikatakan hanya satu badan yang bebas dan mandiri. Oleh karena
itu, BPKP dengan sendirinya harus dilikuidasi dan fungsinya digantikan oleh BPK
yang menurut ketentuan Pasal23G, Ayat (1)”…berkedudukan di Ibu kota negara dan
perwakilan di setiap provinsi.” (Asshiddiqie, 2004: 154-155).
Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai Badan Pengawas boleh saja
melakukan pengawasan, tetapi yang melakukan pemeriksaan hanya ada satu saja,
yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan demikian diharapkan, BPKP dapat
dilebur dan menjadi bagian dari BPK yang baru. Peleburan itu, disamping untuk
memperkuat BPK juga memungkinkan BPK yang baru menjalankan tugasnya sampai di
tingkat kabupaten dan kota. Menurut Ketua BPK, “Bagaimana pelaksanaannya tentu
kita akan mengikuti perkembangan dan itu diatur dalam UU karena kalau kita
sekarang merencanakan untuk berada juga di tingkat II, itu saya tidak bisa
membayangkan bagaimana besar anggaran untuk orangnya, untuk gedungnya, dan
sebagainya. Kita lebih baik praktis saja. Pemikiran saya adalah juga menjawab
yang lain, di tingkat pemerintah, aparat pemeriksa keuangan hanya satu, yang
lain dihapus. Dengan demikian, maka hanya dua intern dan ekstern. Dan dengan
demikian, maka tiba-tiba keperluan akan pemeriksa intern akan menciut dan
sebagian dari aparat BPKP di daerah bisa diambil alih oleh BPK sebagai
perwakilannya melayani kepentingan yang baru, yaitu memberdayakan DPRD baik di
tingkat I maupun tingkat II untuk pertanggungjawaban keuangan daerah…tindak
lanjutnya itu berupa bekerja sama dengan polisi dan kejaksaan.”
BAB III
KESIMPULAN
Dalam Pasal
3 Perpres No. 11 Tahun 2005, tertulis bahwa posisi BPKP merupakan LPND yang
bertugas atas permintaan Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Berdasarkan
PP No. 60 Tahun 2008,BPKP merupakan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan berwenang melakukan
pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu
yang meliputi: kegiatan yang bersifat lintas sektoral; kegiatan kebendaharaan
umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara; kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
Berdasarkan
pasal 6 UU No. 15 Tahun 2006, BPK memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan
Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara.
Buku putih
Departemen Keuangan (2002) menyiratkan bahwa BPK dengan bergulirnya waktu harus
menjadi satu-satunya badan audit eksternal, yang menyerap BPKP.
Dibandingkan
dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibentuk pemerintah
orde baru, struktur organisasi BPK jauh lebih kecil. BPKP mempunyai struktur
organisasi yang menjangkau ke seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota di
seluruh Indonesia.
Pasal 23E,
Ayat (1) menegaskan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri
yaitu, BPK.
Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai Badan Pengawas boleh saja
melakukan pengawasan, tetapi yang melakukan pemeriksaan hanya ada satu saja,
yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
BPKP dapat
dilebur dan menjadi bagian dari BPK yang baru, Kemudian Peleburan itu,
disamping untuk memperkuat BPK juga memungkinkan BPK yang baru menjalankan
tugasnya sampai di tingkat kabupaten dan kota.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang,
Baharuddin. 2009. Orang Batak Memandang BPK. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Tjandra,
Riawan. 2009. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Grasindo.
Asshiddiqie,
Jimly. 2010. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Keppres No.
103 Tahun 2001 Ttg Lembaga Pemerintah Non Departemen
UU No. 15
Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
merupakan dua badan yang serupa tapi tak sama. Maksudnya, dua lembaga negara
ini sama-sama mempunyai fungsi pengawasan, tetapi BPK melakukan pengawasan
Ekstern sedangkan BPKP melakukan pengawasan Intern.
Jika secara
semantik sudah jelas tampak perbedaan antara ‘pemeriksaan’ dan ‘pengawasan’,
tidak demikian halnya dalam praktik. Meski dalam UU hanya ada satu badan yang
diberi wewenang melaksanakan ‘pemeriksaan’ pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, pada kenyataannya ada lagi beberapa badan lain yang
melaksanakan ‘pemeriksaan’ meski wewenangnya adalah ‘pengawasan’. BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan), sesuai dengan namanya, adalah satu-satunya badan yang
diberi wewenang melaksanakan ‘pemeriksaan’ . Namun demikian, BPKP (Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), misalnya, meski sesuai namanya
wewenangnya jelas ‘pengawasan’, sepak-terjangnya nyaris sama dengan BPK.
Untuk itu,
kami akan menelaah lebih lanjut perbedaan-perbedaan BPK dan BPKP. Hal ini
dianggap perlu karena BPK dan BPKP mempunyai tugas pokok dan fungsi serta kewenangan
yang hampir sama tetapi beda dari segi pengawasan. Sehingga kedua lembaga
tersebut harus dibedakan agar BPK dan BPKP dapat berjalan dengan benar dan
sesuai dengan yang diharapkan.
B. Rumusan
Masalah
Materi
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah PERBEDAAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
(BPK) DAN BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP). Untuk memberikan
kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka masalah yang akan
dibahas kami batasi pada :
1. Dasar Hukum serta Tugas Pokok dan Fungsi BPK dan BPKP;
C. Tujuan
penulisan
Penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai
berikut :
1. Untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Keuangan Negara, yaitu : Membuat
Makalah Perbedaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan;
2. Untuk
mengetahui perbedaan-perbedaan yang signifikan antara Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
D. Metode
Penulisan
Dalam proses
penyusunannya makalah ini menggunakan metode study literature. Yaitu
dengan melakukan proses pencarian daftar bacaan dan pengumpulan
dokumen, dengan menggunakan media baca sebagai sumber data dan informasi. Metode
ini dipilih karena pada hakikatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan
penulisan yang hendak dilakukan.
E. Sistematika Penulisan
Bab I
Pendahuluan. Dalam bagian ini kami memaparkan beberapa pokok permasalahan awal
yang berhubungan erat dengan masalah utama. Pada bagian pendahuluan ini
dipaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan
makalah, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah.
Bab II
Pembahasan. Perbedaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pada bagian ini merupakan bagian yang hendak
dikaji dalam proses penyusunan makalah ini. Kami berusaha untuk
mendeskripsikan berbagai temuan yang berhasil ditemukan dari hasil pencarian
sumber atau bahan.
Bab III
Kesimpulan. Pada bagian ini kami berusaha untuk menyimpulkan pembahasan yang
telah dikemukakan dalam perumusan masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
PERBEDAAN
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DAN
BADAN
PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP)
A. Dasar Hukum serta Tugas Pokok dan Fungsi BPK dan BPKP
BPKP (BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN)
Banyaknya
lembaga negara yang didirikan tanpa memandang efektifitas dan efisiensi,
menjadikan beberapa lembaga negara mempunyai wewenang yang hampir sama bahkan
sama sekali tidak ada perbedaan. Kesimpangsiuran wewenang tersebut saat ini
terjadi pada dua lembaga Pemeriksaan. Lembaga pertama adalah BPK yang dibentuk
berdasarkan UU no 15 tahun 2006, dan selanjutnya BPKP yang dibentuk berdasarkan
Keppres no 103 tahun 2001 mengenai Lembaga Negara Non Departemen.
Berdasarkan
Keputusan Presiden No 103 tahun 2001, menjelaskan mengenai pembentukan Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang didalamnya diuraikan hal-hal yang menjadi
fungsi, tugas, wewenang dan pertanggungjawaban lembaga tersebut.
Dalam
Keppres No. 103 tahun 2001pasal 1, menjelaskan bahwa Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang selanjutnya disebut LPND adalah lembaga pemerintah pusat yang
dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden. LPND
merupakan lembaga yang bekerja berdasarkan permintaan dari presiden dan wajib
melaporkan hasil kerjanya kepada presiden berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-udangan yang berlaku. Kemudian dalam pasal 3 Perpres No. 11 Tahun
2005, yang termasuk LPND diantaranya adalah Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) yang juga disandingkan dengan BAPPENAS, BPS, BIN dsb.
Berdasarkan
pasal tersebut, jelas bahwa posisi BPKP merupakan LPND yang bertugas atas
permintaan Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. Namun yang menjadi
catatan disini adalah tugas yang diusulkan oleh pihak BPKP atau yang diminta oleh
Presiden harus sesuai dengan aturan yang mendasarinya. Jelas bahwa yang
dititikberatkan sebagai tugas BPKP adalah mencakup pengawasan baik pengawasan
keuangan pelaksanaan pemerintahan dan pengawasan kinerja pelaksanaan
pemerintahan atau disebut pengawasan intern.
Berdasarkan
PP No. 60 Tahun 2008, BPKP merupakan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan berwenang melakukan
pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu
yang meliputi: kegiatan yang bersifat lintas sektoral; kegiatan kebendaharaan
umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara; dan kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
Kemudian
Fungsi pemeriksaan, sesuai dengan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)
Dalam
Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 pasal 1, yang dimaksud dengan Badan Pemeriksa
Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas
untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan pasal 6, BPK memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara. Kemudian, berdasarkan Pasal 7 UU No. 15 Tahun 2006 tersebut
dan Pasal 23E Ayat 2 BAB VIIIA UUD 1945, BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai
dengan kewenangannya.
Dengan
demikian, jelas bahwa fungsi pemeriksaan terhadap entitas/lembaga-lembaga
Negara ada pada tugas dan kewenangan BPK. Salah satunya adalah fungsi
pemeriksaan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dasar Hukum
terhadap BPK pun tertulis dalam UUD 1945 Bab VIII A Pasal 23 E, F, dan G. Serta
UU RI No. 15 Tahun 2006 Ttg Badan Pemeriksa Keuangan sebagai pengganti UU RI No.
5 Tahun 1973 Ttg Badan Pemeriksa Keuangan. UU RI No. 15 Tahun 2004 Ttg
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. UU RI No. 1 Tahun
2004 Ttg Perbendaharaan Negara. Dan UU RI No. 17 Tahun 2003 Ttg Keuangan
Negara.
B. Perbedaan mendasar antara BPK dan BPKP
Bukan
rahasia lagi bahwa meskipun menurut ketentuan UUD 45, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) merupakan satu-satunya badan pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, masih terdapat beberapa badan lain yang melaksanakan pekerjaan
yang sama dengan BPK biarpun mereka seharusnya melakukan tugas-tugas
pengawasan, seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sepintas
lalu kerancuan antara tugas ‘pemeriksaan’ dan ‘pengawasan’ tampak sekadar
kerancuan istilah, tapi sesungguhnya sifatnya jauh lebih mendasar, seperti
kerancuan manajerial, bahkan kerancuan hukum.
Jangankan
ketentuan UUD 1945, kamus pun sebenarnya cukup tegas membedakan ‘pemeriksaan’
dengan ‘pengawasan’. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) terbitan 2005,
misalnya, terdapat dua pengertian dalam istilah ‘pengawasan’. Pertama,
pengertian ‘penilikan dan penjagaan’ atas suatu kegiatan. Kedua, pengertian
‘penilikan dan pengarahan kebijakan’ suatu badan. Dua pengertian itu tampak
jelas sama-sama menyangkut tujuan meningkatkan mutu manajerial organisasi; yang
pertama member penekanan pada kegiatan sehari-hari suatu badan; yang kedua pada
keputusan-keputusan suatu badan.
Istilah
pemeriksaan dalam kamus tersebut mengandung tiga pengertian. Pertama “proses,
cara, perbuatan memeriksa”. Kedua, “hasil (pendapatan) memeriksa; periksaan”.
Ketiga, “penyelidikan; pengusutan (perkara dsb.)”. tiga pengertian ini jelas
tampak bebas dari tujuan mencapai mutu manajerial suatu organisasi, walaupun
dampaknya bisa sampai disana. Dirumuskan lain, ‘pengawasan’ bersifat internal,
jadi terbatas dalam suatu badan atau organisasi, sedang ‘pemeriksaan’ bersifat
eksternal, Jadi ditujukan kepada badan atau organisasi di luarnya.
Jika secara
semantik sudah jelas tampak perbedaan antara ‘pemeriksaan’ dan ‘pengawasan’,
tidak demikian halnya dalam praktik. Meski dalam UU hanya ada satu badan yang
diberi wewenang melaksanakan ‘pemeriksaan’ pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara, pada kenyataannya ada lagi beberapa badan lain yang melaksanakan
‘pemeriksaan’ meski wewenangnya adalah ‘pengawasan’. BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan), sesuai dengan namanya, adalah satu-satunya badan yang diberi
wewenang melaksanakan ‘pemeriksaan’ . Namun demikian, BPKP (Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan), misalnya, meski sesuai namanya wewenangnya jelas
‘pengawasan’, sepak-terjangnya nyaris sama dengan BPK.
Jika BPK
adalah amanat UUD, maka BPKP boleh disebut merupakan insiden pemerintahan,
dalam hal ini di samping beberapa kelemahan yang dihadapi di bidang pengauditan
pembelanjaan publik, terdapat sebagian duplikasi fungsi antara BPK dan BPKP
serta antara BPKP dan Inspektorat Jenderal. Buku putih Departemen Keuangan
(2002) menyiratkan bahwa BPK dengan bergulirnya waktu harus menjadi
satu-satunya badan audit eksternal, yang menyerap BPKP, walaupun pemerintah
bisa mempertahankan satu unit pemeriksaan kecil. Personalia BPKP juga dapat
digunakan untuk memperkuat manajemen keuangan pada departemen-departemen
teknis.
Kehadiran
BPKP malah semakin dikukuhkan dengan lahirnya No. 60 Tahun 2009 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah, berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Kehadiran Peraturan Pemerintah ini semestinya memerlukan
pertimbangan BPK, tapi dalam kenyataannnya pertimbangan itu tidak pernah ada,
dan Peraturan Pemerintah tersebut tetap saja ditandatangani oleh Presiden.
Karena itu, tumpang tindih masih tetap berlangsung. Tidak heran bahwa reaksi
penolakan dari KPK muncul tatkala BPKP ingin mengaudit laporan keuangan KPK.
Maklumlah, laporan keuangan KPK memang sudah diaudit oleh BPK.
Sehubungan
dengan kedudukan dan fungsi BPK, dikatakan oleh Pakar Hukum Asshiddiqie, bahwa
dalam UUD 1945 yang asli, kedudukan BPK dirumuskan secara sangat sumir dalam
Pasal 23, Ayat (5). Oleh karena itu, bersamaan dengan penghapusan lembaga DPA
dari ketentuan UUD 1945, ketentuan baru mengenai BPK ini ditempatkan
dalam Bab tersendiri, yaitu Bab VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Isinya
juga dilengkapi sehingga menjadi tiga pasal dan tujuh ayat,. Disamping itu,
mitra kerja BPK yang semula hanya DPR di tingkat pusat dikembangkan juga ke
daerah-daerah sehinga laporan hasil pemeriksaan BPK itu tidak saja harus
disampaikan kepada DPR. Tetapi juga kepada DPRD, baik di tingkat provinsi,
maupun tingkat kabupaten/kota. Mengapa demikian? Karena objek pemeriksaan BPK
itu tidak hanya terbatas pada pelaksanaan atau realisasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) tetapi juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Selain itu,
juga terdapat perkembangan baru yang menyangkut kedudukan dan fungsi BPK.
Sebelumnya, organisasi BPK hanya memiliki kantor perwakilan di beberapa
provinsi saja karena kedudukan kelembagaannya memang hanya terkait dengan
fungsi pengawasan oleh DPR RI terhadap kinerja pemerintahan di tingkat pusat
saja. BPK tidak mempunyai hubungan dengan DPRD, dan pengertian keuangan negara
yang Baharuddin Aritonang, Orang Batak Memandang BPK, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm. 105-111 menjadi objek pemeriksaan
hanya terbatas pada pengertian APBN saja. Karena pelaksanaan APBN itu terdapat
juga di daerah-daerah maka diperlukan ada kantor perwakilan BPK di
daerah-daerah tertentu. Oleh karena itu, dibandingkan dengan Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibentuk pemerintah orde baru, struktur
organisasi BPK jauh lebih kecil.
BPKP
mempunyai struktur organisasi yang menjangkau ke seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota
di seluruh Indonesia. BPKP itu disatu segi merupakan lembaga internal auditor
atas kegiatan pemerintahan dan pembangunan, tetapi terhadap instansi
pemerintahan yang diperiksa, sekaligus merupakan lembaga eksternal auditor.
Untuk menghadapi dualisme pemeriksaan oleh BPK dan BPKP itulah maka Pasal 23E,
Ayat (1) menegaskan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri.
Di sini tegas dikatakan hanya satu badan yang bebas dan mandiri. Oleh karena
itu, BPKP dengan sendirinya harus dilikuidasi dan fungsinya digantikan oleh BPK
yang menurut ketentuan Pasal23G, Ayat (1)”…berkedudukan di Ibu kota negara dan
perwakilan di setiap provinsi.” (Asshiddiqie, 2004: 154-155).
Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai Badan Pengawas boleh saja
melakukan pengawasan, tetapi yang melakukan pemeriksaan hanya ada satu saja,
yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan demikian diharapkan, BPKP dapat
dilebur dan menjadi bagian dari BPK yang baru. Peleburan itu, disamping untuk
memperkuat BPK juga memungkinkan BPK yang baru menjalankan tugasnya sampai di
tingkat kabupaten dan kota. Menurut Ketua BPK, “Bagaimana pelaksanaannya tentu
kita akan mengikuti perkembangan dan itu diatur dalam UU karena kalau kita
sekarang merencanakan untuk berada juga di tingkat II, itu saya tidak bisa
membayangkan bagaimana besar anggaran untuk orangnya, untuk gedungnya, dan
sebagainya. Kita lebih baik praktis saja. Pemikiran saya adalah juga menjawab
yang lain, di tingkat pemerintah, aparat pemeriksa keuangan hanya satu, yang
lain dihapus. Dengan demikian, maka hanya dua intern dan ekstern. Dan dengan
demikian, maka tiba-tiba keperluan akan pemeriksa intern akan menciut dan
sebagian dari aparat BPKP di daerah bisa diambil alih oleh BPK sebagai
perwakilannya melayani kepentingan yang baru, yaitu memberdayakan DPRD baik di
tingkat I maupun tingkat II untuk pertanggungjawaban keuangan daerah…tindak
lanjutnya itu berupa bekerja sama dengan polisi dan kejaksaan.”
BAB III
KESIMPULAN
Dalam Pasal
3 Perpres No. 11 Tahun 2005, tertulis bahwa posisi BPKP merupakan LPND yang
bertugas atas permintaan Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Berdasarkan
PP No. 60 Tahun 2008,BPKP merupakan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan berwenang melakukan
pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu
yang meliputi: kegiatan yang bersifat lintas sektoral; kegiatan kebendaharaan
umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara; kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
Berdasarkan
pasal 6 UU No. 15 Tahun 2006, BPK memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan
Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara.
Buku putih
Departemen Keuangan (2002) menyiratkan bahwa BPK dengan bergulirnya waktu harus
menjadi satu-satunya badan audit eksternal, yang menyerap BPKP.
Dibandingkan
dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibentuk pemerintah
orde baru, struktur organisasi BPK jauh lebih kecil. BPKP mempunyai struktur
organisasi yang menjangkau ke seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota di
seluruh Indonesia.
Pasal 23E,
Ayat (1) menegaskan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri
yaitu, BPK.
Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai Badan Pengawas boleh saja
melakukan pengawasan, tetapi yang melakukan pemeriksaan hanya ada satu saja,
yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
BPKP dapat
dilebur dan menjadi bagian dari BPK yang baru, Kemudian Peleburan itu,
disamping untuk memperkuat BPK juga memungkinkan BPK yang baru menjalankan
tugasnya sampai di tingkat kabupaten dan kota.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang,
Baharuddin. 2009. Orang Batak Memandang BPK. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Tjandra,
Riawan. 2009. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Grasindo.
Asshiddiqie,
Jimly. 2010. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Keppres No.
103 Tahun 2001 Ttg Lembaga Pemerintah Non Departemen
UU No. 15
Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Comments