MAKALAH DELIK – DELIK DI LUAR KODEFIKASI
(UU NO 23 TAHUN 1997
TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP)
Oleh: Andi Sunarto Ns
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG

Hal inilah yang kemudian manjadi
Pekerjaan Rumah buat pemerintah di negeri ini. Sehingga di buatlah Undang –
Undang No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup merupakan salah
satu landasan pemerintah dalam menangani kasus kasus yang berhubungan dengan
Lingkungan Hidup yang lebih specific lagi tentang pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup membahas tentang bagaimana cara
memberlakukan alam. Dari hal tersebut, timbullah keinginan untuk
menelaah lebih lanjut tentang Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup yang dalam pembahasan dihalaman selanjutnya
akan lebih difokuskan tentang AMDAL.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Materi
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah AMDAL KAWASAN
LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL DI SEMARANG. Untuk memberikan kejelasan
makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka masalah yang akan dibahas
kami batasi pada :
1. Analisis
kasus yang terjadi di semarang yang hubungannya dengan AMDAL KAWASAN LINGKUNGAN
INDUSTRI KECIL.
2. Upaya
Hukum Kasus Pencemaran Oleh Industri Kecil Di Semarang
3. Analisis
mengenai tindak pidana dalam kasus tersebut.
C.
TUJUAN
PENULISAN
Penulisan makalah ini memiliki tujuan
sebagai berikut :
1. Untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Delik – Delik Di luar kodifikasi
2. Untuk
mengetahui sanksi pidana bagi yang melanggar UU No 23 Tahun 1997.
D.
METODE
PENULISAN
Dalam
proses penyusunannya makalah ini
menggunakan metode study literature. Yaitu dengan melakukan proses pencarian daftar bacaan dan pengumpulan dokumen, dengan
menggunakan media baca sebagai sumber data dan informasi. Metode ini dipilih
karena pada hakekatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang
hendak dilakukan.
E.
SISTEMATIKA
PENULISAN
Bab
I Pendahuluan. Dalam bagian ini kami memaparkan beberapa pokok permasalahan
awal yang berhubungan erat dengan masalah utama. Pada bagian pendahuluan ini
dipaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan
makalah, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah.
Bab
II Pembahasan Analisis Kasus “ upaya hukum dan Sanksi pidana. Pada bagian ini
merupakan bagian pertama yang
hendak dikaji dalam proses penyusunan makalah ini.
Kami berusaha untuk mendeskripsikan berbagai temuan yang berhasil ditemukan
dari hasil pencarian sumber atau bahan.
Bab
III Kesimpulan. Pada bagian ini kami berusaha untuk menyimpulkan pembahasan
yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah.
CONTOH
KASUS AMDAL KAWASAN LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL DI SEMARANG.
KOMPAS, 2 AGUSTUS 2002
Pelaku usaha
dan pemerintah daerah dinilai masih mengabaikan masalah lingkungan. Hal ini
terlihat dari masih adanya kawasan industri di Semarang yang
beroperasi tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajiban stu di Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Amdal). Selain itu, sejumlah industri di Semarang juga masih
banyak yang belum secara rutin, yaitu enam bulan sekali, menyampaikan laporan
kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Semarang. “Kalau
sebuah kawasan industri sudah beroperasi sebelum melakukan studi Amdal,
Bapedalda tidak bisa berbuat apa-apa.
Kami paling hanya
bisa mengimbau, tapi tidak ada tindakan apa pun yang bisa kami lakukan. Terus
terang, Bapedalda adalah instansi yang mandul,” kata Mohammad Wahyudin, Kepala
Sub-Bidang Amdal, Bapedalda Semarang, Kamis (1/8), di Semarang. Wahyudin
menceritakan, kawasan industri di Jalan Gatot Subroto, Kecamatan Ngaliyan, Kota
Semarang, misalnya, sejak beroperasi dua tahun lalu hingga saat ini belum
mempunyai Amdal.
Padahal,
menurut Wahyudin, salah satu syarat agar sebuah kawasan industri bisa
beroperasi ialah dipenuhinya kewajiban melaksanakan studi Amdal. “Bapedalda
berkali-kali menelpon pengelola kawasan industri tersebut, menanyakan
kelengkapan dokumen Amdal mereka. Namun, sampai sekarang, jangankan memperoleh
jawaban berupa kesiapan membuat studi Amdal, bertemu pemilik kawasan itu saja
belum pernah,” ujarnya. Wahyudin menyayangkan sikap pihak berwenang yang tetap
memberikan izin kepada suatu usaha industri atau kawasan industri untuk
beroperasi walau belum menjalankan studi Amdal.
Menurut dia,
hal ini merupakan bukti bahwa bukan saja pengusaha yang tidak peduli terhadap
masalah lingkungan, melainkan juga pemerintah daerah. Sikap tidak peduli
terhadap masalah lingkungan juga ditunjukkan sejumlah pemilik usaha industri
ataupun kawasan industri dengan tidak menyampaikan laporan rutin enam bulan
sekali kepada Bapedalda. Wahyudin mengatakan, kawasan industri di Terboyo,
misalnya, tidak pernah menyampaikan laporan perkembangan usahanya, terutama
yang diperkirakan berdampak pada lingkungan, kepada Bapedalda.
Hal serupa
juga dilakukan pengelola lingkungan industri kecil (LIK) di Bugangan Baru.
Keadaan tersebut, menurut Wahyudin, mengakibatkan Bapedalda tidak bisa
mengetahui perkembangan di kedua kawasan industri tersebut. Padahal,
perkembangan sebuah kawasan industry sangat perlu diketahui oleh Bapedalda agar
instansi tersebut dapat memprediksi kemungkinan pencemaran yang bisa terjadi.
Ia menambahkan, industri kecil, seperti industri mebel, sebenarnya berpotensi
menimbulkan pencemaran lingkungan. Namun, selama ini, orang terlalu sering
hanya menyoroti industry berskala besar. (Kompas, 2 Agustus 2002)
BAB II
ANALISA KASUS
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Semarang
dari Pencemaran Limbah Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan
pengendalian lingkungan hidup (pasal 1 angka 2 UUPLH). Secara umum Pengelolaan
secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam
pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor
pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan
tantangan.
1.
Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan kawasan
industri yaitu:
UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistemnya.
UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistemnya.
2.
UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.
3.
UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
4.
UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
5.
PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban, Serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
6.
Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung.
7.
Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang di Daerah.
8.
UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pengelolaan Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm
UU, seperti terlihat dalam Pasal 20 UUPLH disebutkan:
1. Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang
melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.
2. Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari
luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
3. Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri.
4. Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang
ditetapkan oleh Menteri.
5.
Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundang-undangan.
Peran Pemda juga penting bertanggungjawab dalam
mengatur kawasan industri.
Dalam Pasal 22 UUPLH disebutkan:
1. Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
2. Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
3. Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada
Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan
pengawasan.
Berkaitan dengan pengawasan dalam Pasal 24 disebutkan:
1. Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan,
membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki
tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi
dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang
bertanggungjawab atas usaha dan/atau kegiatan.
2.
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai
keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan
petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas
dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat
pengawasan tersebut UU 23 Tahun 1997 juga menggunakan asas kerja sama
(cooperation principle) dalam upaya preventif terhadap terjadinya kerusakan
lingkungan yang tercantum pada pasal 9 ayat (2) yang berbunyi: “Pengelolaan
lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai
dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku
pembangunan lain dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.” Pasal 11 ayat (1):
“Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu
oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri”. Juga tercantum
dalam Pasal 13 ayat (1): “Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan
hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah
menjadi urusan rumah tangganya.
Di Indonesia Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) diatur
dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan
Hidup. AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup. AMDAL sangat
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatanyang dinilai berpotensi berdampak negatif terhadap lingkungan.
AMDAL sebagai salah satu instrumen proses penegakkan hukum administrasi
lingkungan belum terlaksana sebagaimana mestinya. Padahal pada instrumen ini
dilekatkan suatu misi mengenai kebijakan pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan.
Dalam hal perizinan juga diatur dalam pasal 36 sampai dengan pasal
41 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan
Hidup
Upaya Hukum Kasus Pencemaran Oleh Industri Kecil Di Semarang
Dalam pasal 5 ayat (1) UUPLH mengakui hak yang sama atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Di samping kewajiban dalam pasal 6 UUPLH:
(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan
perusakan.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai
pengelolaan lingkungan hidup.
Menurut Suparto Wijoyo dengan melihat ruang lingkup pasal 5 ayat (1)
UUPLH merupakan argumentasi hukum yang substantive bagi sesorang untuk
melakukan gugatan lingkungan terhadap pemenuhan kedua fungsi hak perseorangan
termasuk forum pengadilan.
Dalam kasus pencemaran oleh kawasan industry kecil di Semarang ini
memang belum ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini dikarenakan kurangnya
peran pemerintah salam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat
untuk mengangkat kasus ini. Walupun mereka merasakan dampak negatif dari
pencemaran limbah tersebut.
Namun masyarakat ataupun LSM dapat mengajukan upaya hukum dalam
menyelesaikan kasus ini. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. penegakkan hukum dibidang lingkungan
hidup dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Sanksi Pidana
Dalam pemberian sanksi pidana UUPLH 1997 menetapkan sanksi maksimum,
hal terebut tercantum dalam Pasal 41:
1. Barang
siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Dalam
penerapan instrumen hukum pidana pada dasarnya bersifat sebagai upaya terakhir
(ultimum remidium), namun dalam penegakkan hukum lingkungan tidak selamanya
bersifat (ultimum remidium) karena tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia
sudah pada tingkat memprihatinkan.
Untuk adanya perbuatan pidana di bidang Lingkungan
Hidup, menurut pasal 41 sampai Pasal 47 UUPLH ditentukan agar memenuhi
syarat-syarat :
1. adanya perbuatan yang memasukkan mahluk hidup, zat,
energi atau komponen lain ke dalam Lingkungan Hidup atau perbuatan yang
menimulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/
atau hayati Lingkungan Hidup
2. adanya penurunan kemampuan lingkungan sampai tingkat
tertentu dalam menunjang pembangunan berkelanjutan atau Lingkungan Hidup
kurang/ tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya
4. adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan pelaku
dengan penurunan kualitas Lingkungan Hidup sampai pada tingkat kurang / tidak
dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya;
5.
kesalahan pelaku bersangkutan dimaksudkan sebagai tidak
pidana
Dalam kasus Pencemaran di kawasan industri, pencemaran
dilakukan bukan oleh individu saja tetapi oleh beberapa orang atau perusahaan,
mengenai pencemaran yang dilakukan secara kolektif merujuk pada Pasal 46 UUPLH:
1. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ini dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan
tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun
terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap
kedua-duanya.
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini,
dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan
kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana
dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah
atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang
tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan
tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
3. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum,
perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat
tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
4. Jika
tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim
dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak
pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib sesuai pasal
47 UUPLH, yaitu berupa:
1.
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana; dan/atau
2.
penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
3.
perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
4.
mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
dan/atau
5.
meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
6.
menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama
tiga tahun
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a. Aspek
Hukum mengenai pencemaran di kawasan Lingkungan Industri Kecil Semarang
diatur dalam UUPLH No 23 tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah
Kabupaten untuk mengatur dan mengurus,dan menegakkan hukum.
b. Upaya
penegakkan hukum yang dapat dilakukan berkaitan dengan kasus pencemaran di
Lingkungan Industri Kecil adalah dengan penerapan instrumen hukum secara Pidana
sebagai senjata pamungkas.
2.
Saran
a. Segala
bahan buangan yang beracun perlu pengolahan (treatment) dari Lingkungan Indutri
Kecil tersebut terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan, dan perairan tempat
pembuangan harus mempunyai kondisi oseanografi yang memadai. Industri-industri
yang mutlak harus didirikan di wilayah ini wajib memproses bahan-bahan buangan
untuk keperluan lain, sehingga dengan demikian dampak terhadap lingkungan dapat
dibatasi
b. Perlunya
ketegasan pemerintah dalam menangani kasus pencemaran lingkungan hidup. Apabila
upaya admisnitratif kepada perusahaan mencemari diberikan sanksi pidana agar
memberikan efek jera kepada pelakunya.
c. Selain
kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan legislatif, masyarakat/LSM, serta
dunia usaha adalah penting dan harus terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada
tataran perencanaan dan monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan tercipta
suatu pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia
usaha yang menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.
Comments