MAKALAH DELIK DI LUAR KODEFIKASI

MAKALAH  DELIK – DELIK DI LUAR KODEFIKASI
(UU NO 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP)

Oleh: Andi Sunarto Ns

BAB I
PENDAHULUAN

A.                 LATAR BELAKANG
Melihat kondisi lingkungan hidup yang ada di negara ini saat ini, terdapat perbedaan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan kondisi lingkungan hidup 10 atau 20 tahun yang lalu. Hal ini lah yang kemudian menyebabkan bencana alam terjadi dimana – mana, mulai dari banjir, tanah longsor gunung meletus dan seterusnya. Ini dikarenakan hutun yang yang tidak lagi hijau. Hutan kita yang dulunya bagus sekarang sudah gundul bak mahasiswa baru.
Hal inilah yang kemudian manjadi Pekerjaan Rumah buat pemerintah di negeri ini. Sehingga di buatlah Undang – Undang No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup merupakan salah satu landasan pemerintah dalam menangani kasus kasus yang berhubungan dengan Lingkungan Hidup yang lebih specific lagi tentang pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup membahas tentang bagaimana cara memberlakukan alam. Dari hal tersebut, timbullah keinginan untuk menelaah lebih lanjut tentang Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang dalam pembahasan dihalaman selanjutnya akan  lebih difokuskan tentang AMDAL.
B.                 RUMUSAN MASALAH 
Materi yang akan dibahas dalam makalah ini adalah AMDAL KAWASAN LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL DI SEMARANG. Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka masalah yang akan dibahas kami batasi pada :
1.   Analisis kasus yang terjadi di semarang yang hubungannya dengan AMDAL KAWASAN LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL.
2.      Upaya Hukum Kasus Pencemaran Oleh Industri Kecil Di Semarang
3.      Analisis mengenai tindak pidana dalam kasus tersebut.
C.                TUJUAN PENULISAN
Penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.      Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Delik – Delik Di luar kodifikasi
2.      Untuk mengetahui sanksi pidana bagi yang melanggar UU No 23 Tahun 1997.

D.                METODE PENULISAN
Dalam proses penyusunannya makalah ini menggunakan metode study literature. Yaitu dengan melakukan proses pencarian daftar bacaan dan pengumpulan dokumen, dengan menggunakan media baca sebagai sumber data dan informasi. Metode ini dipilih karena pada hakekatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak dilakukan.

E.                 SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I Pendahuluan. Dalam bagian ini kami memaparkan beberapa pokok permasalahan awal yang berhubungan erat dengan masalah utama. Pada bagian pendahuluan ini dipaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah.
Bab II Pembahasan Analisis Kasus “ upaya hukum dan Sanksi pidana. Pada bagian ini merupakan bagian pertama yang hendak dikaji dalam proses penyusunan makalah ini. Kami berusaha untuk mendeskripsikan berbagai temuan yang berhasil ditemukan dari hasil pencarian sumber atau bahan.
Bab III Kesimpulan. Pada bagian ini kami berusaha untuk menyimpulkan pembahasan yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah.

CONTOH KASUS  AMDAL KAWASAN LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL DI SEMARANG.  KOMPAS, 2 AGUSTUS 2002
Pelaku usaha dan pemerintah daerah dinilai masih mengabaikan masalah lingkungan. Hal ini terlihat dari masih adanya kawasan industri di Semarang yang beroperasi tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajiban stu di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Selain itu, sejumlah industri di Semarang juga masih banyak yang belum secara rutin, yaitu enam bulan sekali, menyampaikan laporan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Semarang. “Kalau sebuah kawasan industri sudah beroperasi sebelum melakukan studi Amdal, Bapedalda tidak bisa berbuat apa-apa.
Kami paling hanya bisa mengimbau, tapi tidak ada tindakan apa pun yang bisa kami lakukan. Terus terang, Bapedalda adalah instansi yang mandul,” kata Mohammad Wahyudin, Kepala Sub-Bidang Amdal, Bapedalda Semarang, Kamis (1/8), di Semarang. Wahyudin menceritakan, kawasan industri di Jalan Gatot Subroto, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, misalnya, sejak beroperasi dua tahun lalu hingga saat ini belum mempunyai Amdal.
Padahal, menurut Wahyudin, salah satu syarat agar sebuah kawasan industri bisa beroperasi ialah dipenuhinya kewajiban melaksanakan studi Amdal. “Bapedalda berkali-kali menelpon pengelola kawasan industri tersebut, menanyakan kelengkapan dokumen Amdal mereka. Namun, sampai sekarang, jangankan memperoleh jawaban berupa kesiapan membuat studi Amdal, bertemu pemilik kawasan itu saja belum pernah,” ujarnya. Wahyudin menyayangkan sikap pihak berwenang yang tetap memberikan izin kepada suatu usaha industri atau kawasan industri untuk beroperasi walau belum menjalankan studi Amdal.
Menurut dia, hal ini merupakan bukti bahwa bukan saja pengusaha yang tidak peduli terhadap masalah lingkungan, melainkan juga pemerintah daerah. Sikap tidak peduli terhadap masalah lingkungan juga ditunjukkan sejumlah pemilik usaha industri ataupun kawasan industri dengan tidak menyampaikan laporan rutin enam bulan sekali kepada Bapedalda. Wahyudin mengatakan, kawasan industri di Terboyo, misalnya, tidak pernah menyampaikan laporan perkembangan usahanya, terutama yang diperkirakan berdampak pada lingkungan, kepada Bapedalda.
Hal serupa juga dilakukan pengelola lingkungan industri kecil (LIK) di Bugangan Baru. Keadaan tersebut, menurut Wahyudin, mengakibatkan Bapedalda tidak bisa mengetahui perkembangan di kedua kawasan industri tersebut. Padahal, perkembangan sebuah kawasan industry sangat perlu diketahui oleh Bapedalda agar instansi tersebut dapat memprediksi kemungkinan pencemaran yang bisa terjadi. Ia menambahkan, industri kecil, seperti industri mebel, sebenarnya berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Namun, selama ini, orang terlalu sering hanya menyoroti industry berskala besar. (Kompas, 2 Agustus 2002)
BAB II
ANALISA KASUS
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Semarang dari Pencemaran Limbah Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (pasal 1 angka 2 UUPLH). Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.
1.      Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan kawasan industri yaitu:
UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistemnya.
2.      UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.
3.      UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4.      UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
5.      PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
6.      Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
7.      Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah.
8.      UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pengelolaan Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU, seperti terlihat dalam Pasal 20 UUPLH disebutkan:
1.    Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.
2.    Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
3.     Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri.
4.     Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri.
5.      Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.

Peran Pemda juga penting bertanggungjawab dalam mengatur kawasan industri.
Dalam Pasal 22 UUPLH disebutkan:
1.     Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
2. Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
3.  Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Berkaitan dengan pengawasan dalam Pasal 24 disebutkan:
1.    Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggungjawab atas usaha dan/atau kegiatan.
2.      Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.  Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut UU 23 Tahun 1997 juga menggunakan asas kerja sama (cooperation principle) dalam upaya preventif terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang tercantum pada pasal 9 ayat (2) yang berbunyi: “Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.” Pasal 11 ayat (1): “Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri”. Juga tercantum dalam Pasal 13 ayat (1): “Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
Di Indonesia Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) diatur dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup. AMDAL sangat diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatanyang dinilai berpotensi berdampak negatif terhadap lingkungan. AMDAL sebagai salah satu instrumen proses penegakkan hukum administrasi lingkungan belum terlaksana sebagaimana mestinya. Padahal pada instrumen ini dilekatkan suatu misi mengenai kebijakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Dalam hal perizinan juga diatur dalam pasal 36 sampai dengan pasal 41  UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup
Upaya Hukum Kasus Pencemaran Oleh Industri Kecil Di Semarang
Dalam pasal 5 ayat (1) UUPLH mengakui hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di samping kewajiban dalam pasal 6 UUPLH:
(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Menurut Suparto Wijoyo dengan melihat ruang lingkup pasal 5 ayat (1) UUPLH merupakan argumentasi hukum yang substantive bagi sesorang untuk melakukan gugatan lingkungan terhadap pemenuhan kedua fungsi hak perseorangan termasuk forum pengadilan.
Dalam kasus pencemaran oleh kawasan industry kecil di Semarang ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah salam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini. Walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Namun masyarakat ataupun LSM dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. penegakkan hukum dibidang lingkungan hidup dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Sanksi Pidana
Dalam pemberian sanksi pidana UUPLH 1997 menetapkan sanksi maksimum, hal terebut tercantum dalam Pasal 41:
1.  Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2.   Dalam penerapan instrumen hukum pidana pada dasarnya bersifat sebagai upaya terakhir (ultimum remidium), namun dalam penegakkan hukum lingkungan tidak selamanya bersifat (ultimum remidium) karena tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia sudah pada tingkat memprihatinkan.

Untuk adanya perbuatan pidana di bidang Lingkungan Hidup, menurut pasal 41 sampai Pasal 47 UUPLH ditentukan agar memenuhi syarat-syarat :
1.    adanya perbuatan yang memasukkan mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam Lingkungan Hidup atau perbuatan yang menimulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/ atau hayati Lingkungan Hidup
2.  adanya penurunan kemampuan lingkungan sampai tingkat tertentu dalam menunjang pembangunan berkelanjutan atau Lingkungan Hidup kurang/ tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya
3.      adanya unsur kesalahan dari perilaku baik karena kesengaajaan atau kelalaian;
4.    adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan pelaku dengan penurunan kualitas Lingkungan Hidup sampai pada tingkat kurang / tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya;
5.      kesalahan pelaku bersangkutan dimaksudkan sebagai tidak pidana

Dalam kasus Pencemaran di kawasan industri, pencemaran dilakukan bukan oleh individu saja tetapi oleh beberapa orang atau perusahaan, mengenai pencemaran yang dilakukan secara kolektif merujuk pada Pasal 46 UUPLH:
1. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
3. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
4.  Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib sesuai pasal 47 UUPLH, yaitu berupa:
1.      perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
2.      penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
3.      perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
4.      mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
5.      meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
6.      menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun

BAB III
PENUTUP
1.                  Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan  dari pembahasan kasus diatas adalah sebagai berikut:
a.  Aspek Hukum mengenai pencemaran di kawasan Lingkungan Industri Kecil Semarang  diatur dalam UUPLH No 23 tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten untuk mengatur dan mengurus,dan menegakkan hukum.
b.  Upaya penegakkan hukum yang dapat dilakukan berkaitan dengan kasus pencemaran di Lingkungan Industri Kecil adalah dengan penerapan instrumen hukum secara Pidana sebagai senjata pamungkas.
2.                  Saran
a.   Segala bahan buangan yang beracun perlu pengolahan (treatment) dari Lingkungan Indutri Kecil tersebut terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan, dan perairan tempat pembuangan harus mempunyai kondisi oseanografi yang memadai. Industri-industri yang mutlak harus didirikan di wilayah ini wajib memproses bahan-bahan buangan untuk keperluan lain, sehingga dengan demikian dampak terhadap lingkungan dapat dibatasi
b.    Perlunya ketegasan pemerintah dalam menangani kasus pencemaran lingkungan hidup. Apabila upaya admisnitratif kepada perusahaan mencemari diberikan sanksi pidana agar memberikan efek jera kepada pelakunya.
c.   Selain kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan legislatif, masyarakat/LSM, serta dunia usaha adalah penting dan harus terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada tataran perencanaan dan monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.


Comments