PRO KONTRA SEMA NOMOR 7 TAHUN 2014

PRO KONTRA SEMA NOMOR 7 TAHUN 2014

Oleh: Andi Sunarto Ns


Narto's Note – Penghujung Tahun 2014 (31 Desember 2014) Mahkamah Agung (MA) membuat terobosan terbaru terkait dengan Permohonon Pengajuan Kembali dalam Perkara Pidana. Terobosan tersebut dibuat dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014.
SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tersebut didasarkan pada amar Putusan  Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-IX/2013 Tanggal 6 Maret 2014, Butir 1.2 yang menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Akan tetapi, meskipun Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, MA berpendapat bahwa hal tersebut serta merta menghapus norma hukum yang mengatur tentang peninjauan kembali yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Oleh karena itu, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya Satu kali. SEMA ini dibuat guna mewujudakan kepastian hukum terkait permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana.
Pro Kontra SEMA Nomor 7 Tahun 2014
SEMA Nomor 7 Tahun 2014 telah resmi dikelaurkan oleh Mahkamah Agung dan sejak itu pula, SEMA ini mengundang berbagai respon dari petinggi lembaga di republik ini. Ada yang Pro dan ada pula yang kontra dengan berbagai alasan dan sudut pandang masing-masing.
Dikutip dari (sindonews.com), Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan SEMA merupakan sebuah langkah maju yang dilakukan oleh MA. Prasetyo menambhakan bahwa SEMA tersebut tidak menggugurkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan kesempatan bagi terpidana untuk mengajukan PK lebih dari satu kali. Dia berharap, mekanisme yang hanya memperbolehkan pengajuan PK satu kali ini dapat memecah kebuntuan mengenai pelaksanaan eksekusi mati bagi terpidana. Ini langkah maju, karena Mahkamah Agung sudah menyatakan bahwa pengajuan PK hanya diberikan satu kali. Selanjutnya Prasetyo menjelaskan bahwa melalui SEMA tersebut, pengajuan PK pada kedua kalinya akan lebih mempertimbangkan novum (bukti baru).
Senada dengan Jaksa Agung Prasetyo, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengatakan bahwa Upaya mengajukan peninjauan kembali (PK) maksimal satu kali bisa memberi kepastian hukum bagi yang berperkara. Bambang Widjojanto menyetujui adanya  Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 7 tahun 2014 yang menyebutkan PK perkara pidana hanya satu kali. Kecuali yang benar-benar diyakini pemohon dapat mengubah putusan kasasi karena alasan PK-nya memang sangat meyakinkan.
Selanjutnya Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly mengatakan, SEMA merupakan penegasan dari UU MA. UU Kementerian tidak dibatalkan, jadi di situ PK tidak dibatalkan, PK hanya sekali. Dia menambahkan bahwa pembatasan PK hanya satu kali merupakan terobosan hukum untuk memperketat pelaksanan hukum pidana.
Pernyataan berbeda diberikan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Andi Irmanputra Sidin. Dia menilai pembatasan PK hanya satu kali tidak dapat dibenarkan, konstitusi sudah menempatkan MA sebagai kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan seperti tertuang dalam Pasal 24 ayat 1 UUD 1945. Lebih lanjut, Andi menjelaskan bahwa pencarian keadilan setiap warga negara bahkan umat manusia adalah hak konstitusional yang paling esensi untuk memperjuangkan kebabasan dan hak hidupnya. "Negara tidak boleh malas untuk melayani pencari keadilan untuk kehidupan dan kebebasan setiap umat manusia selamat terdapat keadan baru yang bisa membuktikan sebaliknya," cetus Irman.
Dikutip dari (news.detik.com), Hal senada disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara lainnya Dr Bayu Dwi Anggono. Meski ia menolak PK berkali-kali dan menolak putusan MK terkait hal itu, tapi ia menentang SEMA terkait. Menurutnya, dalam kasus suatu peraturan perundang-undangan yang isi atau substansinya sangat baik/adil sekali pun, tapi jika pembentukannya tidak memenuhi asas formil, maka peraturan tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam konteks SEMA bukanlah peraturan perundang-undangan (regelling) maupun keputusan tata usaha negara (beschikking), SEMA masuk kategori peraturan kebijakan (beleidsregell) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving).

Setali tiga uang, Komisioner Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh juga tidak sepakat dengan adanya SEMA tersebut. Dia mengaku kaget mengetahui SEMA tersebut karena bertentangan dengan putusan MK. Dia mengatakan bahwa Putusan MK itu sejajar dengan UU, prinsipnya peraturan yang lebih tinggi harus dimenangkan dari yang lebih rendah.

Comments