PANDANGAN J.A PONTIER TENTANG PENEMUAN HUKUM

PANDANGAN J.A PONTIER TENTANG PENEMUAN HUKUM

Oleh: Andi Sunarto Ns


PENGGUNAAN PENEMUAN HUKUM
Kegunaan Penemuan Hukum
Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat.
Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban profesi hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi.
Persoalan pokok yang ada dalam sistem hukum antara lain adalah:
Unsur sistem hukum, meliputi :
  1. Hukum undang-undang: hukum yang dicantumkan dalam keputusan resmi secara tertulis, yang sifatnya mengikat umum.
  2. Hukum kebiasaan: keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan yang tujuannya kedamaian.
  3. Hukum Yurisprudensi: hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan.
  4. Hukum Traktat : hukum yang terbentuk dalam perjanjian internasional.
  5. Hukum Ilmiah (ajaran) : hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.

Jenis-jenis Penemuan Hukum
1.     Interpretasi Gramatikal atau Menurut Bahasa
Metode interpretasi gramatikal yang disebut juga metode penafsiran obyektif merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari sekedar ‘membaca undang-undang.’ Dari sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang. Interpretasi menurut bahasa ini juga harus logis
2.     Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Interpretasi teleologis atau sosiologis adalah apabila makna undang undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau tidak sesuai lagi, diterapkan pada peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya Undang-Undang tersebut dikenal atau tidak.
Interpretasi sosiologis terjadi apabila makna Undang-Undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang using digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau menyelesaikan sengeketa yang terjadi sekarang. Metode ini baru digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan berbagai cara.
Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Jadi peraturan hukum yang lama disesuaikan dengan keadaan baru atau dengan kata lain peraturan yang lama dibuat aktual. Dapat dikatakan bahwa setiap penafsiran pada hakekatnya merupakan penafsiran teleologis. Makin asing suatu Undang-Undang makin banyak dicari tujuan pembentuk Undang-Undang yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
3.     Interpretasi Sistematis atau Logis
Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain disebut dengan interpretasi sistematis atau interpretasi logis.
4.     Interpretasi Historis
Makna ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat juga ditafsirkan dengan cara meneliti sejarah pembentukan peraturan itu sendiri. Penafsiran ini dikenal dengan interpretasi historis. Ada 2 (dua) macam interpretasi historis, yaitu:
a. Penafsiran menurut sejarah undang-undang, dan
b. Penafsiran menurut sejarah hukum.
Dengan penafsiran menurut sejarah Undang-Undang hendak dicari maksud ketentuan Undang-Undang seperti yang dilihat atau dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang pada waktu pembentukkannya. Pikiran yang mendasari metode interpretasi ini ialah bahwa Undang-Undang adalah kehendak pembentuk Undang-Undang yang tercantum dalam teks Undang-Undang. Interpretasi menurut sejarah Undang-Undang ini disebut juga interpretasi subjektif, karena penafsir menempatkan diri pada pandangan subjektif pembentuk Undang-Undang, sebagai lawan interpretasi menurut bahasa yang disebut metode objektif. Sedangkan, metode interpretasi yang hendak memahami Undang-Undang dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut dengan interpretasi menurut sejarah hukum.
5.   Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif adalah penafsiran dengan memperbandingkan. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan Undang-Undang. Pada interpretasi komparatif makan penafsiran peraturan itu dibenarkan dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di berbagai Negara. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional ini penting. Di luar hukum Internasional kegunaan metode ini terbatas. Interpretasi komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan.
6.     Interpretasi Antisipatif atau Futuristik
Pada penafsiran Futuristik maka dicari pemecahannya dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan Undang-Undang. Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum, Contohnya pada saat undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang pada saat itu sedang di bahas di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang yang di sidik berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi.
7.     Interpretasi Restriktif
Disini untuk menjelaskan suatu ketentuan Undang-Undang ruang lingkup ketentuan Undang-Undang itu dibatasi. Cara penafsiran yang mempersempit arti suatu istilah atau pengertian dalam (pasal) undang-undang. Ini adalah suatu metode penafsiran dengan mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa.
8.     Interpretasi Ekstensif
Menafsirkan dengan memperluas arti suatu istilah atau pengertian dalam (pasal) undang-undang.  

Perbedaan Penafsiran dan Konstruksi Hukum
Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa metode penafsiran (interpretasi) ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:
1)  Interpretasi Gramatikal (interpretasi bahasa) atau tata bahasa (taalkundige, grammatikale interpretatie) atau metode obyektif. Hakim menafsirkan kata-kata dalam teks undang-undang apaadanya sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tatabahasa.
2) Interpretasi Sistematis (Logis), menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan lain atau dengan keseluruhan sebagai satu kesatuan dan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan (sistem hukum).
3)   Interpretasi Historis, penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya (terbentuknya), meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya (rechtshistorisch) dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang (wetshistorisch, penafsiran subyektif).
4)  Interpretasi Teleologis (sosiologis), Hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan kemasyarakatan dan bukan hanya daripada bunyi kata-kata undang-undang itu saja, karena makna dari undang-undang yang masih berlaku sudah usang atau tidak sesuai lagi untuk diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini.
5)  Interpretasi komparatif, penafsiran dengan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum, guna mencari titik temu atau kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang pada suatu penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara, lazimnya penafsiran ini diperhunakan dalam perjanjian internasional ini penting.
6)    Interpretasi antisipatif (futusritis), hakim menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitum) guna mencari pemecahan kasus yang dihadapkan padanya, dengan berpedoman pada kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam suatu atau beberapa peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku dan belum mempunyai daya kekuatan yang mengikat (ius constituendum), misalnya rancangan undang-undang.
7)   Interpretasi Restriktif, hakim melakukan penafsiran dengan mempersempit (membatasi) arti suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa, dengan menghubungkannya dengan persoalan hukum yang dihadapkan pada hakim yang bersangkutan.
8)    Interpretasi ekstensif, hakim menafsirkan dengan memperluas arti suatu istilah (pengertian) yang terdapat dalam suatu teks peraturan undang-undang yang berlaku.
Berkaitan dengan interpretasi tersebut, juga dibutuhkan adanya penalaran logis (konstruksi), yang terdiri 4 (empat) jenis yaitu:
1)   Argumentum per analogiam (Analogi) atau Abtraksi, hakim dalam rangka melakukan penemuan hukum, menerapkan sesuatu ketentuan hukum, bagi suatu keadaan yang pada dasarnya sama dengan suatu keadaan yang secara eksplisit telah diatur dalam ketentuan hukum tersebut tadi, tetapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain.
2)   Argumentum a contrario (a contrario), merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang dilakukan oleh hakim dengan mendasarkan pada pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit yang dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit yang telah diatur dalam undang-undang. Hakim mengatakan “peraturan ini saya terapkan pada peristiwa yang tidak diatur ini, tetapi secara kebalikannya. Jadi pada a contrario titik berat diletakkan pada ketidak-samaan peristiwanya.
3)  Penghalusan hukum (rechtverfijning) atau penyempitan hukum (penghalusan hukum) atau determinatie (pengkhususan) atau Pengkonkritan hukum (Refinement of the law). Jadi Hakim bukan membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan secara langsung apa adanya, melainkan hakim melakukan pengecualian-pengecualian (penyimpangan-penyimpangan) baru terhadap peraturan perundang-undangan, karena rumusan undang-undang terlalu luas dan bersifat umum, maka perlu dipersempit dan diperjelas oleh Hakim untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa konkrit tertentu yang dihadapkan padanya.
4)    fiksi hukum (fictio juris), yaitu dengan cara menambahkan fakta-fakta yang baru, guna mengatasi benturan antara tuntutan-tuntutan yang baru dan sistem yang ada, sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita, yang bukan kenyataan. Apabila ia telah diterima dalam kehidupan hukum, misalnya melalui keputusan hakim, maka iapun sudah berubah menjadi bagian dari hukum positif dan tidak boleh lagi disebut-sebut sebagai fiksi. Salah satu contoh fiksi hukum yang penting yang masih diakui oleh dan digunakan dalam hukum modern adalah “adopsi”, dimana seseorang yang sebetulnya bukan merupakan anak kandung dari orang tua yang mengadopsinya, diterima sebagai demikian melalui fiksi hukum dengan segala akibat yang mengikutinya.


Comments