MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK YANG BEBAS DARI KETERBATSANNYA

Manusia sebagai Makhluk yang Bebas dari Keterbatasnya

Narto's Note - Realitas manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan terdiri atas dua unsur, yaitu Jasad dan Roh. Jasad dapat diartikan sebagai sesuatu yang sifatnya fisik yang terkonstruksi dari bertemunya sel sperma milik laki-laki dan sel telur milik perempuan dalam steam sel, darah, daging, bulu, kulit dan unsur fisik lainnya. Sedangkan Roh dapat diartikan sebagai sesuatu yang sifatnya nonfisik/gaib. Tubuh sebagai elemen kasar  tanpa eksistensi dari roh tidak berarti apa-apa.

Dalam pandangan orang awam, seringkali roh dan jasad dipandang sebagai suatu variabel yang terpisah dan bahkan ada yang menganggap bahwa roh dan jasad adalah suatu bentuk rivalitas ciptaan Tuhan. Orang awam menganggap bahwa kemampuan mengindrai dan berfikir adalah ranah jasad karena suatu hal yang dilihat struktur merupakan bentuk fisik. Sehingga terjebak dalam memahami ranah eksistensi jasad.

Ketidakmampuan orang awam dalam memahami eksistensi dari jasad dan roh berakibat langsung pada ketidakmampuan manusia dalam menonjolkan sifat keistimewaan yang melekat padanya. Yang jika ditelaah lebih dalam merupakan kelebihan yang hanya manusia yang dibekali akal pikiran oleh yang maha kuasa. Selanjutnya dengan dibekalinya kemampuan untuk berpikir  diharapkan manusia menjadi makhluk yang otonom.

Memahami keotonoman manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan itu berangkat dari konstruksi filsafat perinial tentang kecenderungan manusia. Kecenderungan manusia terbagi atas dua hal yaitu, aku adalah objek yang terbatas dan aku adalah subjek yang dalam kesadaran tentang keterbatasan mampu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia bebas dalam keterbatasannya.

Pada prinsipnya, manusia adalah makhluk yang lemah. Lemah dalam artian bahwa manusia memiliki dependensi dengan penciptanya. Akan tetapi dalam ketergantungannya tuhan telah memberikan otoritas kepada manusia dalam bentuk script (tabula rasa) suci tanpa noda yang merupakan gambaran keseimbangan terhadap dependensi tersebut. Dengan tabula rasa tersebut diharapkan manusia mampu memberikan pewarnaan yang viriatif. Proses inilah yang kemudian akan menadi potret dari kehidupan manusia yang sesungguhnya dapat diejawantahkan sebagai sumber kekayaan pengetahuan tentang misteri hidup dan kehidupan manusia.

Dalam kapasitas manusia sebagai makhluk yang lemah dalam segala dependensinya kepada sang penciptanya, tuhan memberikan ruang kepada manusia untuk mengembangkan diri dalam konsep otonomi, independensi dan kreativitas sebagai manusia dalam mempertahankan hidup.  Sementara di pihak lain manusia sengat berhasrat untuk ditinggikan derajatnya  ke arah perhubungan dengan tuhan yang maha segalanya. Oleh karena itu, sinergitas otonomi dan dependensi manusia pada tuhan yang secara kasatmata kontradiktif, haruslah berada pada kesatuan yang seimbang.

Nah, kemudian muncul pertanyaan yang lumayan rumit terkait dengan otoritas tuhan dan otonomi manusia adalah sejauh mana otoritas tuhan dan sejauh mana delegasi tuhan kepada manusia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas pada dasarnya ada dua pendekatan yang bias digunakan. Pertama, manusia digambarkan sebagai makhluk yang hanya mengikuti seluruh ketentuan yang telah digariskan tuhan. Kedua,manusia digambarkan sebagai makhluk otonom penuh, dimana otoritas tuhan sepenuhnya ada tanpa batasan dan keterbatasan.

Pendekatan tersebut di atas, dalam ranah filasat agama dapat diuaraikan ke dalam dua konsep yang menyatakan hubungan tuhan dengan manusia ditinjau dari kemutlakan tuhan dan kebebasan manusia.
Pertama, Tuhan Mahakuasa, manusia tidak bebas dalam bebuat dan berkehendak. Perbuatan manusia sebenarnya dalah perbuatan tuhan. Konsep ini dalam  bahasa arab dikenal dengan istilah jabara.
Jabara (Jabariyah) berasal dari kata Arab jabara yang berarti alzama hu bi fi’lih, yaitu berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya. Manusia tidak mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa melakukan kehendak atau perbuatannya sebagaimana telah ditetapkan Tuhan sejak zaman azali. Dalam filsafat Barat aliran ini desebut Fatalism atau Predestination. 

Paham Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang berlaku bagi segenap alam semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang bagi adanya kebebasan manusia untuk berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya. Paham ini menganggap semua takdir itu dari Allah. Oleh karena itu menurut mereka, seseorang menjadi kafir atau muslim adalah atas kehendak Allah. 

Yang Kedua  Qadariyah mengandung dua arti, pertama, orang-orang yang memandang manusia berkuasa atas perbuatannya dan bebas untuk berbuat. Dalam arti ini Qadariyah berasal dari kata qadara artinya berkuasa. Kedua, orang-orang yang memandang nasib manusia telah ditentukan aleh azal. Dengan demikian, qadara di sini berarti menentukan, yaitu ketentuan Tuhan atau nasib. 
Qadariyah adalah satu aliran dalam teologi Islam yang berpendirian bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri intuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya , dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Dalam istilah inggris paham ini dikenal dengan nama free will dan free act

Dengan paham tersebut, mereka beranggapan bahwa setiap aktifitas manusia adalah semata-mata keinginannya sendiri, yang terlepas dari kehendak Allah. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim setingkat meniadakan qadar atau ketetapan Allah yang azali atas segala sesuatu sebelum terjadi. Sehingga setiap pekerjaan berasal dari manusia sendiri, tidak bisa disandarkan pada Allah baik dari segi penciptaan maupun penetapan. Menurut mereka manusia bebas dan bisa memilih apa saja yang akan dikerjakan atau ditinggalkan, tidak ada seorang pun yang memiliki kuasa atas kemauannya , dia bisa berpindah kapan pun dia mau, dia bisa beriman atau kafir jika mau dan mengerjakan apa saja yang diinginkannya. Karena kalau tidak, maka dia bagaikan sebuah alat atau seperti halnya dengan benda-benda mati lainnya. Sehingga asas taklif atau pemberian tanggung jawab, pemberian pahala dan siksa tidak ada gunanya. Dengan perkataan lain, mereka berpendapat manusia itu bebas menentukan diri sendiri memilih beramal baik dan buruk, karena mereka harus memikul resiko, dosa kalau berbuat munkar dan berpahala jika berbuat baik dan taat. 

Nah… dari kedua pandangan dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya manusia itu adalah makhluk yang bebas dalam bingkai kekuasaan sang mahakuasa. Dan jika kita mengambil hikmah dari pandangan tersebut diatas bahwa kehidupan masusia akan senantiasa akan indah jika tetap dalam koridor yang telah ditentukan sang Mahakuasa.


Referensi: Hukum, Moral & Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat Hukum by  Prof. SUKARNO, Prof. MUHADAR & MASKUN, S.H., M.H.

Comments