PERBEDAAN BPK DAN BPKP

PERBEDAAN BPK DAN BPKP
Oleh
ANDI SUNARTO NS



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merupakan dua badan yang serupa tapi tak sama. Maksudnya, dua lembaga negara ini sama-sama mempunyai fungsi pengawasan, tetapi BPK melakukan pengawasan Ekstern sedangkan BPKP melakukan pengawasan Intern.
Jika secara semantik sudah jelas tampak perbedaan antara ‘pemeriksaan’ dan ‘pengawasan’, tidak demikian halnya dalam praktik. Meski dalam UU hanya ada satu badan yang diberi wewenang melaksanakan ‘pemeriksaan’ pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, pada kenyataannya ada lagi beberapa badan lain yang melaksanakan ‘pemeriksaan’ meski wewenangnya adalah ‘pengawasan’. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), sesuai dengan namanya, adalah satu-satunya badan yang diberi wewenang melaksanakan ‘pemeriksaan’ . Namun demikian, BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), misalnya, meski sesuai namanya wewenangnya jelas ‘pengawasan’, sepak-terjangnya nyaris sama dengan BPK.
Untuk itu, kami akan menelaah lebih lanjut perbedaan-perbedaan BPK dan BPKP. Hal ini dianggap perlu karena BPK dan BPKP mempunyai tugas pokok dan fungsi serta kewenangan yang hampir sama tetapi beda dari segi pengawasan. Sehingga kedua lembaga tersebut harus dibedakan agar BPK dan BPKP dapat berjalan dengan benar dan sesuai dengan yang diharapkan.
B. Rumusan Masalah 
            Materi yang akan dibahas dalam makalah ini adalah PERBEDAAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DAN BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP). Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka masalah yang akan dibahas kami batasi pada :
1. Dasar Hukum serta Tugas Pokok dan Fungsi BPK dan BPKP;
2. Perbedaan mendasar antara BPK dan BPKP;
C. Tujuan penulisan
Penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.    Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Keuangan Negara, yaitu : Membuat Makalah Perbedaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan;
2.    Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan yang signifikan antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
D. Metode Penulisan
Dalam proses penyusunannya makalah ini menggunakan metode study literature. Yaitu dengan melakukan proses pencarian daftar bacaan dan pengumpulan dokumen, dengan menggunakan media baca sebagai sumber data dan informasi. Metode ini dipilih karena pada hakikatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak dilakukan.
E. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan. Dalam bagian ini kami memaparkan beberapa pokok permasalahan awal yang berhubungan erat dengan masalah utama. Pada bagian pendahuluan ini dipaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah.
Bab II Pembahasan. Perbedaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pada bagian ini merupakan bagian yang hendak dikaji dalam proses penyusunan makalah ini. Kami berusaha untuk mendeskripsikan berbagai temuan yang berhasil ditemukan dari hasil pencarian sumber atau bahan.
Bab III Kesimpulan. Pada bagian ini kami berusaha untuk menyimpulkan pembahasan yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah.

BAB II
PEMBAHASAN
PERBEDAAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DAN
BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP)

A. Dasar Hukum serta Tugas Pokok dan Fungsi BPK dan BPKP 
BPKP (BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN)
Banyaknya lembaga negara yang didirikan tanpa memandang efektifitas dan efisiensi, menjadikan beberapa lembaga negara mempunyai wewenang yang hampir sama bahkan sama sekali tidak ada perbedaan. Kesimpangsiuran wewenang tersebut saat ini terjadi pada dua lembaga Pemeriksaan. Lembaga pertama adalah BPK yang dibentuk berdasarkan UU no 15 tahun 2006, dan selanjutnya BPKP yang dibentuk berdasarkan Keppres no 103 tahun 2001 mengenai Lembaga Negara Non Departemen.
Berdasarkan Keputusan Presiden No 103 tahun 2001, menjelaskan mengenai pembentukan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang didalamnya diuraikan hal-hal yang menjadi fungsi, tugas, wewenang dan pertanggungjawaban lembaga tersebut.
Dalam Keppres No. 103 tahun 2001pasal 1, menjelaskan bahwa Lembaga Pemerintah Non Departemen yang selanjutnya disebut LPND adalah lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden. LPND merupakan lembaga yang bekerja berdasarkan permintaan dari presiden dan wajib melaporkan hasil kerjanya kepada presiden berdasarkan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku. Kemudian dalam pasal 3 Perpres No. 11 Tahun 2005, yang termasuk LPND diantaranya adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang juga disandingkan dengan BAPPENAS, BPS, BIN dsb.
Berdasarkan pasal tersebut, jelas bahwa posisi BPKP merupakan LPND yang bertugas atas permintaan Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. Namun yang menjadi catatan disini adalah tugas yang diusulkan oleh pihak BPKP atau yang diminta oleh Presiden harus sesuai dengan aturan yang mendasarinya. Jelas bahwa yang dititikberatkan sebagai tugas BPKP adalah mencakup pengawasan baik pengawasan keuangan pelaksanaan pemerintahan dan pengawasan kinerja pelaksanaan pemerintahan atau disebut pengawasan intern.
Berdasarkan PP No. 60 Tahun 2008, BPKP merupakan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan berwenang melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi: kegiatan yang bersifat lintas sektoral; kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; dan kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
Kemudian Fungsi pemeriksaan, sesuai dengan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)
Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 pasal 1, yang dimaksud dengan Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pasal 6, BPK memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Kemudian, berdasarkan Pasal 7 UU No. 15 Tahun 2006 tersebut dan Pasal 23E Ayat 2 BAB VIIIA UUD 1945, BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.
Dengan demikian, jelas bahwa fungsi pemeriksaan terhadap entitas/lembaga-lembaga Negara ada pada tugas dan kewenangan BPK. Salah satunya adalah fungsi pemeriksaan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dasar Hukum terhadap BPK pun tertulis dalam UUD 1945 Bab VIII A Pasal 23 E, F, dan G. Serta UU RI No. 15 Tahun 2006 Ttg Badan Pemeriksa Keuangan sebagai pengganti UU RI No. 5 Tahun 1973 Ttg Badan Pemeriksa Keuangan. UU RI No. 15 Tahun 2004 Ttg Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. UU RI No. 1 Tahun 2004 Ttg Perbendaharaan Negara. Dan UU RI No. 17 Tahun 2003 Ttg Keuangan Negara.
B. Perbedaan mendasar antara BPK dan BPKP
Bukan rahasia lagi bahwa meskipun menurut ketentuan UUD 45, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan satu-satunya badan pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, masih terdapat beberapa badan lain yang melaksanakan pekerjaan yang sama dengan BPK biarpun mereka seharusnya melakukan tugas-tugas pengawasan, seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sepintas lalu kerancuan antara tugas ‘pemeriksaan’ dan ‘pengawasan’ tampak sekadar kerancuan istilah, tapi sesungguhnya sifatnya jauh lebih mendasar, seperti kerancuan manajerial, bahkan kerancuan hukum.
Jangankan ketentuan UUD 1945, kamus pun sebenarnya cukup tegas membedakan ‘pemeriksaan’ dengan ‘pengawasan’. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) terbitan 2005, misalnya, terdapat dua pengertian dalam istilah ‘pengawasan’. Pertama, pengertian ‘penilikan dan penjagaan’ atas suatu kegiatan. Kedua, pengertian ‘penilikan dan pengarahan kebijakan’ suatu badan. Dua pengertian itu tampak jelas sama-sama menyangkut tujuan meningkatkan mutu manajerial organisasi; yang pertama member penekanan pada kegiatan sehari-hari suatu badan; yang kedua pada keputusan-keputusan suatu badan.
Istilah pemeriksaan dalam kamus tersebut mengandung tiga pengertian. Pertama “proses, cara, perbuatan memeriksa”. Kedua, “hasil (pendapatan) memeriksa; periksaan”. Ketiga, “penyelidikan; pengusutan (perkara dsb.)”. tiga pengertian ini jelas tampak bebas dari tujuan mencapai mutu manajerial suatu organisasi, walaupun dampaknya bisa sampai disana. Dirumuskan lain, ‘pengawasan’ bersifat internal, jadi terbatas dalam suatu badan atau organisasi, sedang ‘pemeriksaan’ bersifat eksternal, Jadi ditujukan kepada badan atau organisasi di luarnya.
Jika secara semantik sudah jelas tampak perbedaan antara ‘pemeriksaan’ dan ‘pengawasan’, tidak demikian halnya dalam praktik. Meski dalam UU hanya ada satu badan yang diberi wewenang melaksanakan ‘pemeriksaan’ pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, pada kenyataannya ada lagi beberapa badan lain yang melaksanakan ‘pemeriksaan’ meski wewenangnya adalah ‘pengawasan’. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), sesuai dengan namanya, adalah satu-satunya badan yang diberi wewenang melaksanakan ‘pemeriksaan’ . Namun demikian, BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), misalnya, meski sesuai namanya wewenangnya jelas ‘pengawasan’, sepak-terjangnya nyaris sama dengan BPK.
Jika BPK adalah amanat UUD, maka BPKP boleh disebut merupakan insiden pemerintahan, dalam hal ini di samping beberapa kelemahan yang dihadapi di bidang pengauditan pembelanjaan publik, terdapat sebagian duplikasi fungsi antara BPK dan BPKP serta antara BPKP dan Inspektorat Jenderal. Buku putih Departemen Keuangan (2002) menyiratkan bahwa BPK dengan bergulirnya waktu harus menjadi satu-satunya badan audit eksternal, yang menyerap BPKP, walaupun pemerintah bisa mempertahankan satu unit pemeriksaan kecil. Personalia BPKP juga dapat digunakan untuk memperkuat manajemen keuangan pada departemen-departemen teknis.
Kehadiran BPKP malah semakin dikukuhkan dengan lahirnya No. 60 Tahun 2009 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kehadiran Peraturan Pemerintah ini semestinya memerlukan pertimbangan BPK, tapi dalam kenyataannnya pertimbangan itu tidak pernah ada, dan Peraturan Pemerintah tersebut tetap saja ditandatangani oleh Presiden. Karena itu, tumpang tindih masih tetap berlangsung. Tidak heran bahwa reaksi penolakan dari KPK muncul tatkala BPKP ingin mengaudit laporan keuangan KPK. Maklumlah, laporan keuangan KPK memang sudah diaudit oleh BPK.
Sehubungan dengan kedudukan dan fungsi BPK, dikatakan oleh Pakar Hukum Asshiddiqie, bahwa dalam UUD 1945 yang asli, kedudukan BPK dirumuskan secara sangat sumir dalam Pasal 23, Ayat (5). Oleh karena itu, bersamaan dengan penghapusan lembaga DPA dari ketentuan UUD  1945, ketentuan baru mengenai BPK ini ditempatkan dalam Bab tersendiri, yaitu Bab VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Isinya juga dilengkapi sehingga menjadi tiga pasal dan tujuh ayat,. Disamping itu, mitra kerja BPK yang semula hanya DPR di tingkat pusat dikembangkan juga ke daerah-daerah sehinga laporan hasil pemeriksaan BPK itu tidak saja harus disampaikan kepada DPR. Tetapi juga kepada DPRD, baik di tingkat provinsi, maupun tingkat kabupaten/kota. Mengapa demikian? Karena objek pemeriksaan BPK itu tidak hanya terbatas pada pelaksanaan atau realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetapi juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selain itu, juga terdapat perkembangan baru yang menyangkut kedudukan dan fungsi BPK. Sebelumnya, organisasi BPK hanya memiliki kantor perwakilan di beberapa provinsi saja karena kedudukan kelembagaannya memang hanya terkait dengan fungsi pengawasan oleh DPR RI terhadap kinerja pemerintahan di tingkat pusat saja. BPK tidak mempunyai hubungan dengan DPRD, dan pengertian keuangan negara yang Baharuddin Aritonang, Orang Batak Memandang BPK, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm. 105-111 menjadi objek pemeriksaan hanya terbatas pada pengertian APBN saja. Karena pelaksanaan APBN itu terdapat juga di daerah-daerah maka diperlukan ada kantor perwakilan BPK di daerah-daerah tertentu. Oleh karena itu, dibandingkan dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibentuk pemerintah orde baru, struktur organisasi BPK jauh lebih kecil.
BPKP mempunyai struktur organisasi yang menjangkau ke seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. BPKP itu disatu segi merupakan lembaga internal auditor atas kegiatan pemerintahan dan pembangunan, tetapi terhadap instansi pemerintahan yang diperiksa, sekaligus merupakan lembaga eksternal auditor. Untuk menghadapi dualisme pemeriksaan oleh BPK dan BPKP itulah maka Pasal 23E, Ayat (1) menegaskan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. Di sini tegas dikatakan hanya satu badan yang bebas dan mandiri. Oleh karena itu, BPKP dengan sendirinya harus dilikuidasi dan fungsinya digantikan oleh BPK yang menurut ketentuan Pasal23G, Ayat (1)”…berkedudukan di Ibu kota negara dan perwakilan di setiap provinsi.” (Asshiddiqie, 2004: 154-155).
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai Badan Pengawas boleh saja melakukan pengawasan, tetapi yang melakukan pemeriksaan hanya ada satu saja, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan demikian diharapkan, BPKP dapat dilebur dan menjadi bagian dari BPK yang baru. Peleburan itu, disamping untuk memperkuat BPK juga memungkinkan BPK yang baru menjalankan tugasnya sampai di tingkat kabupaten dan kota. Menurut Ketua BPK, “Bagaimana pelaksanaannya tentu kita akan mengikuti perkembangan dan itu diatur dalam UU karena kalau kita sekarang merencanakan untuk berada juga di tingkat II, itu saya tidak bisa membayangkan bagaimana besar anggaran untuk orangnya, untuk gedungnya, dan sebagainya. Kita lebih baik praktis saja. Pemikiran saya adalah juga menjawab yang lain, di tingkat pemerintah, aparat pemeriksa keuangan hanya satu, yang lain dihapus. Dengan demikian, maka hanya dua intern dan ekstern. Dan dengan demikian, maka tiba-tiba keperluan akan pemeriksa intern akan menciut dan sebagian dari aparat BPKP di daerah bisa diambil alih oleh BPK sebagai perwakilannya melayani kepentingan yang baru, yaitu memberdayakan DPRD baik di tingkat I maupun tingkat II untuk pertanggungjawaban keuangan daerah…tindak lanjutnya itu berupa bekerja sama dengan polisi dan kejaksaan.”
BAB III
KESIMPULAN
Dalam Pasal 3 Perpres No. 11 Tahun 2005, tertulis bahwa posisi BPKP merupakan LPND yang bertugas atas permintaan Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Berdasarkan PP No. 60 Tahun 2008,BPKP merupakan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan berwenang melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi: kegiatan yang bersifat lintas sektoral; kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
Berdasarkan pasal 6 UU No. 15 Tahun 2006, BPK memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
Buku putih Departemen Keuangan (2002) menyiratkan bahwa BPK dengan bergulirnya waktu harus menjadi satu-satunya badan audit eksternal, yang menyerap BPKP.
Dibandingkan dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibentuk pemerintah orde baru, struktur organisasi BPK jauh lebih kecil. BPKP mempunyai struktur organisasi yang menjangkau ke seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Pasal 23E, Ayat (1) menegaskan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri yaitu, BPK.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai Badan Pengawas boleh saja melakukan pengawasan, tetapi yang melakukan pemeriksaan hanya ada satu saja, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
BPKP dapat dilebur dan menjadi bagian dari BPK yang baru, Kemudian Peleburan itu, disamping untuk memperkuat BPK juga memungkinkan BPK yang baru menjalankan tugasnya sampai di tingkat kabupaten dan kota.

DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Baharuddin. 2009. Orang Batak Memandang BPK. Jakarta: Kepustakaan 
              Populer Gramedia.
Tjandra, Riawan. 2009. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Grasindo.
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Keppres No. 103 Tahun 2001 Ttg Lembaga Pemerintah Non Departemen
UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan



Comments